Banjarmasin,  27 Agustus 2013

 

Mata saya tertuju pada tulisan di situs http://icid.ppibelanda.org/?p=931. Lagu saya dan teman (JEF) dituliskan berhasil menembus 10 besar lomba jingle BNI London. Tangan gemetar dan badan merinding ketika mendengarkan lagu saya yang di upload oleh panitia lomba di soundcloud 10 besar jingle terbaik BNI London. Saya langsung menelpon teman satu tim saya yakni, Eben selaku composer, dan Niluh selaku vokalis. Mereka juga terkejut dan sangat senang menerima kabar dari saya.

Tetapi, selang beberapa saat kemudian, kebahagiaan saya mendadak sirna ketika mendengarkan 9 lagu lainnya yang telah di upload. Lagu-lagu dari peserta lain teramat-sangat-super bagus! Saya lihat peserta lainnya ada yang memang kuliah di jurusan musik, dan ada beberapa nama yang memang langganan jawara lomba jingle nasional. Saya merasa sangat minder ketika memutar lagu peserta lain satu-persatu. Mungkin karena ini kompetisi Internasional, dan hadiah yang ditawarkan sangat menggiurkan, yaitu 1500 Euro dan Tiket ke Belanda untuk menghadiri konferensi Internasional, sehingga banyak musisi hebat yang tertarik untuk mengikuti.

Pengumuman 10 besar lomba jingle BNI London

"Semoga yang ini jelek." pikir saya ketika mem-play lagu milik peserta lainnya, yang akan berakhir dengan "SIAL, INI BAGUS BANGET!"

"Sudah, biarkan saja karya orang lain bagus. Yang penting kita sudah berkarya secara maksimal." kata Eben berusaha menenangkan saya lewat telepon ketika saya bercerita mengenai saingan yang sangat berat. "Aku optimis kita tembus aja 3 besar minimalnya lah."

"Tidak, kita 1 besar!" balasku.

Koran Metro Banjar Edisi 30 Agustus 2013

 

Banjarbaru, 31 Agustus 2013

 

Pagi itu saya bertugas untuk menjadi panitia acara P2B (semacam ospek) FK UNLAM, kebetulan saya merupakan salah satu anggota BEM. Di tengah rangkaian acara seminar P2B, saya mendapatkan e-mail yang isinya sebagai berikut:


Saya meloncat kegirangan membaca e-mail itu. Teman-teman BEM yang saat itu sedang beristirahat sangat kebingungan melihat tingkah-laku saya yang mendadak aneh. Bahkan, adik tingkat yang duduk dekat dengan tempat panitia juga ikut melihat keheranan karena saya sangat kegirangan. Saya langsung mengabari teman-teman saya di tim mengenai hal ini.

Saat itu, semuanya terasa menyenangkan dan menjadi momen paling bahagia dalam hidup. Sampai saya ingat bahwa yang akan berangkat ke Belanda hanya 1 orang perwakilan dari tim, dan paspor saya sudah habis masa berlakunya, sedangkan saat itu H-10 keberangkatan.

Saya dan Eben tidak pernah terpikir sebelumnya mengenai siapa yang akan berangkat ke Belanda saat membaca peraturan di situs lomba yang menyebutkan bahwa hanya 1 perwakilan dari tim yang dapat berangkat. Hal ini karena kami sama sekali tidak pernah terbayangkan untuk menjadi juara 1, karena kami sebelumnya memang selalu kalah dalam mengikuti lomba-lomba jingle.

"Lomba jingle nasional aja kalah, apalagi yang Internasional." pikir kami saat itu. Tetapi kami tetap "nekat" mengikuti lomba tersebut karena kecintaan kami pada musik. Toh, kalah juga tidak rugi.

Kembali ke masalah paspor. Di e-mail panitia dituliskan bahwa paspor harus sudah jadi 2-3 hari lagi, yang berarti hari senin harus sudah jadi, sedangkan hari sabtu dan minggu kantor imigrasi sudah tutup, otomatis tidak banyak yang saya dapat lakukan selama 2 hari tersebut.


Banjarmasin, 2 September 2013

 

Setelah berunding panjang dengan Eben, saya dan Eben sepakat jika kami berdua akan berangkat ke Belanda. Caranya adalah dengan mebiayai keberangkatan 1 orang tambahan. Kebetulan panitia membolehkan selama kami mau menambah biaya. Rencananya kami akan meminta dana bantuan dari kampus untuk mengurangi pengeluaran. Setelah pagi hari mengurus paspor di kantor imigrasi, kami berangkat menuju gedung Rektorat UNLAM Banjarmasin untuk melapor ke Pembantu Rektor III.

Sesampainya kami disana, kami bertemu dengan lelaki yang merupakan staff dari PR III. Ia meminta kami untuk menunggu sejenak di ruangannya karena PR III sedang berada di perjalanan. Selama hampir 1 jam kami menunggu disana, kami hanya berdiam diri duduk disana sementara staff PR III sibuk dengan laptopnya.

Tepat setelah hampir 2 jam menunggu Pak Idianoor, PR III UNLAM, datang mengenakan setelan jas lengkapnya.

"Baik, kenapa ya?" tanya Pak Idianoor ke kami.

Kami kemudian menjelaskan panjang lebar mengenai keikutsertaan kami di lomba jingle tersebut. Kami juga memutar lagu kami, yang langsung diminta PR III untuk di-copy ke laptop beliau.

"Ambil kamera saya!." perintah Pak Idianoor ke staffnya ditengah kami memberi penjelasan. "Sebentar, kita foto dulu ya!"

JEPRET!!!

Ibu Anis, salah satu staff UNLAM yang mengurusi bagian mahasiswa dan keuangan, datang ke ruangan PR III. Beliau langsung terkejut ketika Pak Idianoor menceritakan tentang kami.

"Jadi kalian juara 1 lomba jingle Internasional?" tanya Bu Anis.

"Iya bu, cuman ini ada masalah sedikit di paspor dan dana." jawab kami

"Oh begitu, tapi kalian tetap jadi juara 1 kan meskipun ada masalah di paspornya?" tanya Ibu Anis setengah tidak percaya melihat kami. Wajar jika beliau tidak percaya, saya sendiri saja sampai saat itu masih sangat tidak percaya bisa juara 1.

"Baik, jadi kalian bikin proposal permintaan dana. Nanti saya akan buatkan surat disposisinya." kata Pak Idianoor. Kami-pun bergegas pergi untuk memulai membuat proposal.

"Sebentar!" staff PR III tiba-tiba memanggil kami. "Tolong copy-kan lagunya ke flashdisk saya. Lagunya bagus."


Banjarmasin, 5 September 2013

 

Disaat semua hal sudah mulai teratasi, dana sudah mendapatkan lampu hijau dari UNLAM, dan paspor sudah berada di tangan kami, tiba-tiba saya mendapat kabar mengejutkan dari Anggasta, panitia PJ lomba jingle BNI, yang akan mengurus kami selama di Belanda.

"Maaf mas Jefry, saya baru dapat kabar dari KBRI Belanda jika visa teman mas ditolak. Karena, ternyata dari pihak BNI-nya cuman bisa mengurukan 1 visa saja."

KREK!

Rasanya semua perjuangan supaya kami berdua selaku tim bisa berangkat bersama terasa sia-sia karena membaca pesan tersebut. Akhirnya, Eben dengan berat hati mengikhlaskan saya untuk berangkat ke Belanda sendirian, walaupun saya sempat hampir tidak jadi berangkat ke Belanda karena ada masalah.

 Jakarta, 9 September 2013



"Mas Jefry, ini baru dapat kabar dari hasil rapat panitia, untuk dresscode acaranya pakai batik dan jas ya. Kemudian, jangan lupa untuk dibaca peraturan-peraturan yang harus dibawa untuk mendapatkan visa Schengen (visa negara di Eropa)." pesan Anggasta kepada saya.

Saya langsung meng-google mengenai keperluan yang perlu dibawa, salah satunya adalah pas foto dan asuransi perjalanan Internasional. Untungnya, di gedung Kedubes Belanda menyediakan jasa pas foto, dan untuk asuransi perjalanan bisa jadi dalam hitungan menit dengan mengurus ke salah satu PT asuransi, sehingga saya tidak pusing memikirkan hal tersebut. Saya langsung berangkat menuju mall terdekat untuk mencari batik karena saya tidak membawa batik sama sekali ke Jakarta.

Pelajaran hari itu yang saya dapatkan: Harga batik di mall Jakarta, sangatlah mahal.


Jakarta, 10 September 2013

 

Menggunakan taksi, saya berangkat menuju gedung Kedubes Belanda. Sesampainya disana, saya disuruh antri untuk melakukan wawancara. Saya sudah dibekali berbagai dokumen-dokumen "sakti" oleh panitia PPI Belanda yang akan memudahkan saya dalam mengurus visa. Tepat 1 nomor sebelum giliran saya diwawancara, ada seorang Ibu yang terlihat kebingungan ketika diwawancara, sang pewawancara juga terlihat sangat ketus dan acuh. Hal ini membuat saya semakin gugup menunggu untuk diwawancara.

Giliran saya untuk diwawancara tiba, saya berhadapan dengan seorang wanita Belanda berumur 40an, kami dipisahkan oleh kaca tebal, dan berkomunikasi menggunakan telepon, persis seperti cara penjenguk narapidana berkomunikasi dengan narapidana.

"Where are you going?" tanya wanita itu.

"I'm going to Den Haag, here is my invitation." saya menyerahkan semua dokumen sakti yang saya bawa. Wanita tersebut membolak-balik dokumen itu dan membacanya dengan seksama.

"Wow, so you are the 1st winner of the Jingle? Selamat!." ucap wanita itu dengan senyum dibibirnya yang membuat saya menjadi lega.

"Thank you." jawabku. Di saat itu saya baru tau jika wanita itu fasih menggunakan bahasa Indonesia.

"Besok kamu kemari pada pukul 3 siang untuk mengambil visa, dan tolong jangan telat." pinta wanita itu.

Saya kembali ke apartemen tempat saya menginap selama di Jakarta dengan bahagia karena semua urusan berjalan dengan lancar.

"Gimana mas Jefry visa-nya lancar aja kan?" tanya Anggasta

"Iya mas, lancar aja."

"Alhamdulillah, semoga semuanya berjalan lancar. Nanti besok kabari saya lagi jika sudah mendapatkan visanya."


Jakarta, 11 September 2013

 

Pukul 1 siang saya berangkat menuju gedung Kedubes Belanda, kali ini antriannya lebih sedikit, karena pada jam siang hari memang dikhususkan untuk orang-orang yang mau mengambil visa.

Visa sudah berada ditangan saya, ini berarti semua dokumen sudah beres dan saya tinggal istirahat karena besok malam akan berangkat menuju Amsterdam.

"Mantap mas! Sampai jumpa di Belanda!" tulis Anggasta.