Jakarta, Bandara Internasional Soekarno-Hatta, 11 September 2013 07:30 PM


Koran Metro Banjar edisi 11 September 2013

Jam tangan sudah menunjukkan pukul setengah 8 malam, dan saya sudah berada di terminal keberangkatan. Kurang lebih beberapa saat lagi saya akan masuk pesawat yang akan mengantarkan saya ke Amsterdam. Saya melirik-lirik ke orang-orang di sekitar saya yang akan berangkat 1 pesawat dengan saya nanti, siapa tahu ada yang satu tujuan untuk menghadiri konferensi ICID yang dilaksanakan oleh PPI Belanda. Sejauh yang saya lihat, banyak ibu-ibu berumur 30-40an berkerudung didekat saya, sementara orang-orang bule hanya terlihat sedikit. Anehnya lagi adalah, saya melihat salah satu ibu yang memakai kerudung duduk dengan tatapan kosong, matanya berkaca-kaca sebelum akhirnya meneteskan air mata.

"Aneh, orang-orang yang berangkat ke Amsterdam tentunya adalah orang-orang yang ingin berlibur disana, kenapa jadi ibu tersebut menangis?" pikirku.

Pengumuman bahwa Pesawat Garuda Airlines sudah siap lepas landas membuyarkan lamunanku. Saya langsung antri masuk pesawat, dan mendapatkan kursi di row paling belakang. Lebih tepatnya lagi didekat pintu WC bagian belakang. Terdapat 2 kursi kosong disebelah saya, yang berarti akan ada 2 orang duduk didekat saya jika ada penumpang yang mendapatkan nomor tersebut. Seorang wanita tua yang tadi saya lihat menangis saat di terminal duduk di samping saya, menyusul kemudian seorang wanita muda berkerudung yang juga duduk disampingnya.

"Mau kemana bu?" tanya saya mencoba sok akrab.

"Mau ke Abu Dhabi." jawabnya pendek. "Saya dan teman-teman saya rencananya kerja disana."

Dan saya baru teringat jika penerbangan pesawat ini akan transit di Abu Dhabi terlebih dahulu. Setelah saya tanya lebih jauh, ternyata ibu tersebut dan teman-temannya bekerja sebagai TKI yang akan ditempatkan di Abu Dhabi. Pantas saja ibu ini menangis cemas, mungkin memikirkan keluarganya di rumah, atau nasibnya di Abu Dhabi nanti. Terlebih saat ini sering kita lihat di TV yang memberitakan kekerasan majikan luar terhadap TKI.

"Mas-nya mau kemana?" tanya ibu itu.

"Saya mau ke Den Haag bu."

"Mau ke acara ICID juga ya?" tanya wanita yang duduk disamping ibu itu tiba-tiba menyahut.

"Iya, mba. Peserta juga ya?" tanyaku

"Wah sama dong! Saya peserta lomba paper!" jawabnya bersemangat. Nama wanita tersebut Rini, ia bercerita bahwa ia sorang alumnus ITB angkatan 2008 dan sekarang sedang bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta. Saya juga baru teringat bahwa di konferensi nanti juga ada lomba essay dan paper, dimana para finalis diundang untuk mempresentasikan tulisannya.

Selama kurang lebih 6 jam penerbangan menuju Abu Dhabi saya menghabiskan waktu untuk menonton hiburan di monitor yang terpasang di setiap kursi. Film-film yang disajikan cukup up-to-date, dan saya memilih untuk menonton ulang film Monster University dan The Hunger Games dengan subtitle-nya yang hanya ada bahasa mandarin.

Setelah pesawat mendarat di Abu Dhabi, penumpang yang memang bertujuan ke Abu Dhabi dipersilahkan untuk turun. Banyak sekali ibu-ibu yang turun pesawat tersebut, sepertinya mereka semua 1 agen TKI. Penumpang di pesawat menyisakan lebih sedikit dibandingkan sebelumnya. Yang saya lihat di barisan belakang hanya saya dan Rini, sementara sisanya orang barat.

"Pesawat Garuda akan transit di Abu Dhabi selama 30 menit, penumpang dengan tujuan Amsterdam dipersilahkan untuk menunggu di dalam pesawat." begitu kira-kira isi pengumuman dari dalam pesawat.

Bule yang duduk di depan saya bertanya kepada pramugari mengapa tidak boleh untuk turun sebentar, sekedar menghirup udara segar.

"It's too far to come here again if you go out." jawab pramugari itu.

Setelah 30 menit kemudian, pesawat langsung lepas landas. Saya yang belum tidur sejak berada di pesawat memilih menghabiskan waktu untuk tidur. Ini adalah penerbangan terlama yang pernah saya lakukan, sebelumnya saya hanya pernah ke luar negeri di Singapura, sehingga saya belum terbiasa berada lama-lama di dalam pesawat. Penerbangan menuju Belanda dari Abu Dhabi memakan waktu 12 jam.

Sebelum menutup mata, saya memutar sebuah lagu pengantar tidur di iPod saya.
"We bring you to the world, and the world to you." 
Lagu tersebut saya putar berulang-ulang kali selama di pesawat. Karena, berkat lagu tersebut saya bisa membawa lagu saya didengar di belahan dunia lain, dan  membawa saya menginjakkan kaki di belahan dunia lain.


Amsterdam, 12 September 2013 08:50 AM


Matahari pagi masuk melalui sela-sela jendela pesawat, saya dibangunkan oleh pramugari karena saat itu masuk ke jadwal untuk makan pagi. Beberapa jam kemudian pesawat telah tiba di bandara Schiphol Amsterdam, saya bergegas mengambil tas dan turun dari pesawat. Satu hal yang ada di pikiran saya ketika menginjakkan kaki di Amsterdam adalah "Ini bukan mimpi ya? Bagus banget pemandangannya!".
Setelah mengambil bagasi, saya bersama Rini keluar ke pintu kedatangan. Sesampainya disana, terlihat beberapa anak muda Indonesia yang sudah menunggu.

Panitia PPI Belanda yang menyambut di Bandara Schiphol

Saya berkenalan dengan salah satu panitia yang bernama Tasya, ia mahasiswi yang sedang kuliah di Belanda, yang cukup mengejutkannya adalah ia berasal dari kota Bontang di Kalimantan dan kenal dengan kaka tingkat saya di kampus. Kami masih menunggu beberapa peserta konferensi lagi yang ternyata satu pesawat dengan kami. Beberapa saat kemudian seorang suami-istri dan bapak-bapak datang menghampiri kami. Mereka adalah peserta essay, namanya Ibu Robiani dan Bapak Mahfud Siddiq (1 orang lagi saya lupa namanya) dari Jakarta.

Kami serombongan berangkat menuju Den Haag menggunakan kereta api. Yang menariknya adalah, kereta api disini sangat nyaman dan praktis. Tiket kereta api tersebut tidak memerlukan jadwal, sehingga saya bebas memilih menaiki kereta yang mana saja dan kapan saja selama tujuannya sesuai dengan yang tertera di karcis.

Di perjalanan dalam kereta, saya dimanjakan oleh pemandangan yang indah. Banyak sekali pohon-pohon dan peternakan yang terjaga. Pemandangan seperti ini sebelumnya hanya pernah saya lihat di film-film saja. Sayangnya saya tidak sempat banyak mengambil foto karena keasyikan menikmati pemandangan tersebut.

Dalam waktu sekitar 30 menit, kami sampai di stasiun Den Haag Central, kami berjalan menuju Holiday Inn Express tempat kami akan menginap selama 5 hari 4 malam. Setibanya di hotel, saya memilih berjalan-jalan sekitar untuk menikmati pemandangan Belanda. Didekat hotel tersebut ada semacam lapangan yang dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk menyiapkan jualannya. Setelah saya amati, mereka menjual berbagai barang-barang lawas seperti buku, hiasan, dan lainnya. Kemudian saya duduk di kursi yang terletak tepat di depan danau yang sangat indah.

Duduk di tepi danau ini sangat menyejukkan

Jika sebelumnya di Banjarmasin saya selalu pilek karena alergi debu, di Belanda saya sama sekali tidak pilek. Udara di sana seperti berada di Car Free Day setiap saat. Ini menjadi semacam surga bagi paru-paru saya. Memang di Belanda sangat jarang saya melihat adanya mobil, terlebih lagi motor. Para penduduk disana lebih suka menggunakan sepeda, bus, dan kereta sebagai pilihan transportasi. Hal ini terjadi karena alat transportasi umumnya yang sangat nyaman dan sepeda bisa dimasukkan kedalam kereta. Panitia PPI Belanda disana juga bercerita kepada saya, bahwa ia menggunakan sepeda sebagai alat transportasi sehari-harinya.

Setelah puas berjalan-jalan di sekitar hotel, saya berjalan kembali menuju hotel. Disana saya berkenalan dengan Yoga, mahasiswa S2 di Monash University (Australia) yang merupakan salah seorang peserta essay dan paper. Ia tengah sibuk menyiapkan presentasi di laptopnya sambil sesekali berbicara dengan saya. Berhubung kamar hotel belum bisa dimasuki karena masih belum waktunya, saya mencari WC di hotel tersebut.

"Tinggal lurus aja ada WC ko." jawab salah seorang panitia. Saya berjalan kebingungan di sekitar hotel mencari WC meskipun sudah diberi instruksi oleh panitia itu. Akhirnya, saya menemukan WC yang terletak didepan lift, saya masuk dan merasa janggal dengan WC tersebut. Ukuran WC tersebut terlalu luas untuk ukuran WC umum, dan bentuk WC-nya agak janggal bagi saya.

"Mungkin memang begini kali ya model WC di Belanda." pikir saya. Setelah membereskan urusan di WC, saya keluar dan bertemu dengan salah satu room boy hotel yang sedang menunggu lift. Tiba-tiba ia melihat ke arah saya dan tersenyum sambil tertawa-tawa kecil.

"Good morning, sir!" ucapnya.

"Morning too, sir." balas saya sambil keheranan melihatnya tertawa-tawa kecil. Saya berlalu menuju lobi hotel untuk berkumpul bersama peserta konferesi lainnya.

"Loh, kamu dari mana? Bukannya WC-nya didekat ruang makan?" tanya panitia yang memberikan instruksi arah WC ke saya sebelumnya.

"Itu tadi ada WC juga ko di depan lift." jawab saya.

Setelah setengah jam menunggu, saya dan Yoga bertanya lagi ke resepsionis hotel, apakah kamar sudah bisa dimasuki. Dan ternyata saat itu kamar sudah bisa digunakan, dan kami langsung mengisi beberapa formulir yang perlu diisi. Yoga mendapat kamar di lantai 3, sedangkan saya di kamar 2 sehingga kami akan berpisah saat tiba di lift nanti.

Saat sedang menunggu lift, saya melihat kembali WC yang tadi saya masuki. Setelah saya amati baik-baik dipintunya terdapat gambar seperti ini:

Logo WC untuk orang yang menggunakan kursi roda
Rupanya nafsu untuk buang air kecil saya sudah membutakan gambar kursi roda, dan hanya melihat tulisan WC. Pantas saja room boy yang melihat saya keluar dari WC tersebut tertawa-tawa kecil. Untunglah salah masuk menggunakan WC tidak masuk dalam kejahatan di Belanda.

Saya telah tiba di kamar hotel, kamar tersebut sangat nyaman bagi saya. Bed double, hawa yang sejuk, dan tempat yang sangat bersih dan rapi. Setelah meletakkan semua barang bawaan dan mandi, saya kembali turun ke lobi hotel karena saya dan Yoga berencana mencari tempat makan siang bersama.

Kamar hotel yang saya tempati sendirian

"Kita makan makanan Indonesia aja, ini ada restoran namanya "Puncak", letaknya tidak jauh dari sini." ajak Yoga kepada saya. 

Dipandu oleh GPS, kami berjalan menuju restoran itu. Yang cukup mengherankan adalah, ternyata ada banyak restoran Indonesia di Belanda. Hal ini dikarenakan Indonesia sempat dijajah oleh Belanda, sehingga banyak terdapa restoran Indonesia, bahkan rumah makan padang juga ada di sini.

Tampak restorannya. Sumber foto: tafelreserveren.nl

Setibanya di restoran Puncak, saya merasa agak canggung karena restoran tersebut sangatlah mewah. Orang yang makan disana mengenakan setelan jas dan berkelas. Sedangkan kami hanya mengenakan kaus berlapiskan jaket. Karena perut yang sudah tidak bisa diajak kompromi, kami memilih nekat untuk masuk ke restoran itu.

Pelayan restoran kemudian memberikan menunya kepada kami. Disana disajikan berbagai menu masakan Indonesia seperti Nasi Goreng, Gudeg, Sate, dan lainnya, lengkap dengan penulisan bahasa Indonesia tanpa diubah. Yang membuat syok adalah, daftar harga menu tersebut. Rata-rata harga makanan disana diatas 10 Euro, yang jika di Rupiah-kan menjadi sekitar 150.000 (maklum, orang Indonesia yang perhitungan). Dan yang lebih lagi adalah, 1 teko air putih berharga 10 Euro. Akhirnya saya memesan Nasi Goreng dan Ayam Panggang, dan minum air putih 1 teko yang dibagi berdua dengan Yoga (hemat dikit).

Beberapa menit kemudian, makanan sudah disajikan di meja kami. Nasi Goreng yang disajikan porsi nasinya sedikit, sementara ayam yang disajikan 2 potong besar. Uniknya rumah makan di Belanda (atau mungkin restoran di negara Eropa lainnya), mereka selalu menyajikan nasi/ kentang/ sumber karbohidrat lainnya dalam jumlah yang sedikit, sementara lauknya selalu disajikan dalam porsi banyak dan besar. Tentunya hal ini berbeda dengan budaya makan orang Indonesia yang makan nasi dalam porsi banyak, tetapi lauk dalam jumlah kecil.

"Terima kasih." ucap pelayan restoran ketika kami membayar di kasir. Rupanya pekerja restoran disana sudah terlatih menggunakan bahasa Indonesia, walaupun sekedar ucapan terima kasih.

Kami berjalan kembali ke hotel dan beristirahat sejenak karena pada malamnya kami akan berangkat menuju KBRI Belanda untuk acara pembukaan ICID.


Narsis dikit di jalan pulang