Den Haag, 14 September 2013 06.00 AM


Saya mendapatkan pesan balasan whatsapp dari dr. Alfi, dosen saya di FK UNLAM yang sekarang tengah mengambil kuliah S3 di Utrecht. Beliau meng-iyakan ajakan saya untuk menemani berjalan-jalan pada tanggal 15 besok, karena kebetulan jadwal beliau sedang kosong. Di hari sebelumnya, pihak panitia menawarkan paket travel berkeliling kota, namun saya mengurungkan untuk ikut karena pesertanya hanya sedikit. Terlebih beberapa orang yang saya kenal seperti Yoga, Dorothy, Rini, Masyhadul, dan Yesaya sudah memesan tiket pulang pada hari minggu karena ada kegiatan di hari senin. Setelah membuat janji dengan dr. Alfi untuk keesokan harinya, saya kembali bersiap-siap untuk menghadiri acara konferensi.

Jam setengah 8 pagi saya sudah duduk di lobi hotel untuk berangkat menuju tempat konferensi. Bu Lilik menyapa saya

"Saya dari kemarin susah nih mau foto-foto. Nyari temen yang suka foto tapi tidak ada."

"Wah, kalau gitu sama saya aja, bu. Saya juga susah nih nyari temen buat ngefoto." jawab saya gembira karena sejak kemarin hanya sedikit berfoto.

"Bisa dong kalau begitu. Nanti kita banyakin foto aja gantian-gantian."

Akhirnya, di sepanjang perjalanan keberangkatan menuju Universitas Erasmus, saya dan Bu Lilik datang agak telat dibandingkan rombongan yang berangkat bersama kami. Kami banyak berhenti di sepanjang perjalanan untuk mengambil foto bergantian. Simbiosis mutualisme yang menyenangnkan.




Salah satu foto favorit saya. Transportasi umum sedang melintas di sebelah saya saat berfoto.
Ketika kami tiba di Universitas Erasmus, acara sudah hampir dimulai. Saya mengambil duduk di sebelah Masyhadul dan Yesaya, sementara Bu Lilik duduk di barisan agak depan. Seperti di hari-hari sebelumnya, konferensi diisi oleh pemateri yang membahas ekonomi negara secara mendalam. Akan tetapi, ada satu pembicara yang cukup menarik perhatian saya hari itu, Dr. Warsito. Beliau cukup terkenal di Indonesia karena penemuannya yang disebut sebagai ECVT, yakni salah satu terapi kanker. Beliau mempresentasikan penemuannya dan membawakan beberapa foto penderita kanker yang diterapi oleh ECVT. Hasilnya? Terlihat penderita kanker tersebut menjadi lebih sehat dibandingkan sebelumnya.

Saat presentasi telah selesai, Anggasta mengenalkan saya ke salah seorang juri jingle BNI London. Orang tersebut menentukan jingle yang masuk ke 10 besar sebelum akhirnya akan dipilih juaranya oleh pihak BNI London. Nama beliau adalah Bapak Satriya Krisna, seorang penyanyi yang sedang berkuliah musik di Belanda.

"Selamat ya sudah menang lomba jingle BNI London." ucapnya. "Saya inget jingle kamu, dari awalnya saja sudah sangat catchy bunyi gamelannya."

"Terima kasih banyak, pak." jawab saya dengan senyuman lebar.

Bersama Bapak Satriya Krisna

Setelah berbincang-bincang dengan Bapak Satriya Krisna, acara dilanjutkan dengan sesi presentasi essay dan paper yang merupakan lanjutan dari hari sebelumnya. Ruangan presentasi kembali disebar ke ruangan di sekitar kampus. Saya memasuki salah satu ruangan, dan mendapati Yoga tengah beraksi mempresentasikan essay-nya. Hebatnya adalah, ia mengikuti 2 lomba di konferensi tersebut, yaitu essay dan paper. Di hari sebelumnya, ia sudah mempresentasikan paper-nya.

Presentasi Yoga kali ini membahas mengenai redominasi rupiah dan dampak-dampaknya. Ia terlihat sangat interaktif dengan penonton selama presentasi. Ia melakukan semacam tanya jawab interaktif dengan penonton sebagai pembuktian bahwa argumennya mengenai pendapat masyarakat secara umum memang terbukti. Moderator memberikan pujian ke Yoga, dan berkata bahwa pembawaannya dalam presentasi sangat bagus.

Setelah presentasi, Yoga langsung bersiap-siap pergi karena ia akan berangkat sore hari itu juga untuk mempresentasikan essay-nya di konferensi Internasional yang diadakan di salah satu negara Eropa lainnya (saya lupa tepatnya di mana). Giliran selanjutnya, ada Pak Edo, mahasiswa S3 di Universitas Oxford yang menyajikan paper-nya. Powerpoint-nya cukup banyak dan padat, namun ia tidak terpaku pada powerpoint dan lebih banyak memberikan penjelasan secara langsung. Saya kurang begitu paham yang ia presentasikan karena materinya yang terlalu berat, namun moderator dan penonton memberikan pujian kepadanya. Bahkan ada yang berkata bahwa paper-nya ini sangat bagus dan harus diusut lebih lanjut.

Sebelum masuk ke sesi presentasi selanjutnya, acara dilanjutkan dengan sesi makan siang terlebih dahulu. Menariknya adalah, selama 3 hari berada di Belanda, saya selalu makan makanan Indonesia (lengkap dengan sajian menu yang kaya akan karbohidrat). Tentunya hal ini karena panitianya adalah PPI Belanda.

Di tengah menyantap makan siang Anggasta menyapa saya.

"Jef, nanti malam kamu ngasih pidato kemenangan ya di acara penutupan."

Saya kaget setengah mati.

"Oiya, nanti juga ada wawancara sedikit menggunakan video untuk dokumentasi acara. Kamu siapin aja dulu pesan kesan acara sama menjawab pertanyaan-pertanyaan dari presenternya."

Saya tersedak makanan.

"Pakai bahasa Inggris semua ya. Soalnya kan acara Internasional."

Saya tidak sadarkan diri. Triple kill.

Di tengah memperisapkan pidato untuk nanti malam, saya baru teringat jika saat itu giliran Yesaya dan Masyhadul akan presentasi di salah satu ruangan. Tentunya saya tidak ingin melewatkan aksi mereke berdua berpresentasi. Saya memasuki ruangan mereka sesuai yang tertulis di rundown seminar yang telah dibagikan.

Kiri: Masyhadul; Kanan: Yesaya