Den Haag, Holiday Inn, 15 September 2013 09.00 AM

 

Hari ini saya terbangun lebih santai dibanding hari-hari sebelumnya. Saya berjanji untuk bertemu dengan dr. Alfi, dosen saya di FK UNLAM yang tengah studi S3 di Utrecht, di stasiun Den Haag Central pada pukul 10 pagi, sehingga saya bisa relaks sejenak. Setelah selesai makan pagi, saya bersiap-siap untuk berangkat menuju stasiun menunggu dr. Alfi.

Pukul 10 kurang, saya sudah berada di stasiun dan duduk sejenak di kursi umum untuk mengabari dr. Alfi tempat saya menunggu. Selang  5 menit menunggu, whatsapp saya tak kunjung terbaca oleh dr. Alfi, padahal sebelumnya beliau meminta saya untuk menghubunginya jika sudah berada di stasiun.

Setelah 10 menit saya duduk di stasiun, dr. Alfi datang berjalan menghampiri saya dari kerumunan orang dekat kereta. Meskipun sudah 1 tahun lebih tidak bertemu, penampilan beliau tidak banyak berubah, sehingga saya bisa mengenalinya dari kejauhan.

"Hape saya ke-blokir,  jadi tidak bisa baca whatssapp dari kamu." kata dr. Alfi ketika bertemu saya.

Kami berdua kemudian berjalan untuk memesan tiket kereta menuju ke Amsterdam. Beliau mengajarkan saya sistem tiket dan jenis-jenis kereta di sana. Saya mendapatkan potongan harga tiket kereta karena saya berangkat bersama dr. Alfi yang memiliki semacam kartu langganan.

Kami beranjak ke dalam kereta yang akan membawa kami ke stasiun di Amsterdam. Di dalam kereta beliau bercerita banyak hal mengenai kehidupan di Belanda dan pendidikannya yang sangat bagus. Hal tersebut membuat saya mulai berpikir untuk suatu saat bersekolah di sini.

Setibanya di Amsterdam, saya melihat jika suasana di kota tersebut cukup berbeda dibandingkan dengan Den Haag. Hal yang paling mencolok adalah, di Amsterdam sangat ramai orang lalu lalang, sementara di Den Haag sedikit lebih lengang.

Di depan stasiun Amsterdam Centraal

Kami memutuskan untuk makan siang di restoran kebab yang terletak di dekat stasiun. Restoran kebab tersebut menjadi destinasi kuliner favorit oleh masyarakt penganut Islam, karena di depan restoran tersebut bertuliskan "HALAL" yang cukup besar. Awalnya saya khawatir akan tidak kenyang karena hanya makan siang kebab, namun kekhawatiran saya terhapuskan ketika kebab disajikan. Kebab tersebut berukuran amat sangat besar (mungkin 3x lipat kebab di Indonesia). Dr. Alfi memotong kebabnya setengah dan memberikannya kepada saya, "Untuk kamu makan malam nanti." kata beliau. *overdosis kebab*

Sebelum kembali berjalan keluar, saya menuju ke WC di restoran untuk buang air kecil. Di depan pintu WC ada 2 orang pria berkulit hitam, yang entah berasal dari belahan dunia mana, sedang menunggu giliran karena temannya sedang menggunakan WC. Orang kulit hitam tersebut mengetuk WC dan berkata bahasa yang tidak saya mengerti, sehingga temannya yang sedang menggunakan WC keluar. Ia kemudian berkata ke temannya menggunakan bahasa asing sambil menunjuk-nunjuk saya secara sembunyi-sembunyi, yang menurut interpretasi saya ia berkata "Itu si bocah kampret nyuruh ngetok supaya kamu cepet keluar, makai WC ko lama banget".

Setelah kembali dari WC, saya dan dr. Alfi melanjutkan berjalanan mengelilingi Amsterdam. Kami sampai di sebuah lapangan yang dipenuhi oleh orang-orang berpakaian yang unik. Usut punya usut, ternyata mereka berpakaian unik untuk menarik perhatian pengunjung yang ingin berfoto bersama, tentunya dengan membayar ke kaleng yang diletakkannya di lantai. Saya pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.


"1 Euro" ucap orang tersebut setelah kami berfoto



Kami berjalan menyusuri toko makanan yang terletak didekat semacam kanal perairan. Menariknya, setiap toko makanan khas tersebut selalu menyediakan sample makanan dalam jumlah banyak di piring kecil, sehingga pengunjung bisa bebas makan sample sebanyak mungkin. Atau jika malu karena  makan banyak makanan sample di 1 toko, cukup dengan berpindah ke toko sebelah maka kita bisa makan makanan sample lagi sampai puas. 

Keju Belanda yang ternyata sangat berat

Setelah mencoba makanan sample dan membeli beberapa, kami berlanjut memasuki toko yang menjual berbagai souvenir. Tentunya saya dipandu oleh dr. Alfi yang memang mengetahui toko mana saja yang menjual lebih murah dibandingkan toko lainnya. Saya membeli banyak sekali souvenir karena raungan teman-teman di Banjarmasin yang menghantui notifikasi di gadget saya.


Di toko souvenir, saya melihat ada banyak sekali baju dan pernak-pernik lainnya yang bertuliskan "Red Light District". Dan ternyata, dr. Alfi menjelaskan kepada saya jika Red Light District adalah tempat prostitusi di Amsterdam. Hm... semacam Gang Dolly di Surabaya, atau Pal 18 di Banjarmasin, pikir saya. Bedanya adalah, saya tidak pernah menemukan ada pernak-pernik bertuliskan Pal 18 di toko souvenir Banjarmasin.

Saya kemudian diajak dr. Alfi untuk melewati distrik sakral tersebut, tentunya dengan sok malu-malu terlebih dahulu. "Klo ada lampu warna merah di depan toko, itu artinya rumah prostitusi. Makanya di namakan Red Light." jelas dr. Alfi sambil menunjuk salah satu rumah yang didepannya ada lampu berwarna merah. Dengan semangat 45 (namun dengan tetap mempertahankan image malu-malu kucing) saya memperhatikan dengan seksama toko tersebut. Pintu dan jendelanya tertutup rapat-rapat. Rupanya sedang tutup, atau mungkin sedang melayani pelanggan.

Kami berjalan menyusuri distrik tersebut semakin dalam. Kali ini ada toko lampu merah yang terbuka. Sesosok wanita muda usia 20-an yang hanya mengenakan pakaian dalam berdiri di depan pintu kaca. Ia berusaha untuk menarik perhatian orang-orang yang lalu lalang di depan tokonya dengan menggoyang-goyangkan dadanya. Saya, sebagai lelaki yang kuat iman tentunya tidak tergoda.... karena saya sedang berjalan bersama dengan dosen saya.

Toko-toko yang berhiaskan lampu merah semakin banyak di samping kiri-kanan saya. Di depan saya, ada seorang lelaki tua yang menghampiri salah satu pintu toko tersebut. Ia tengah berbicara dengan seorang PSK yang berdiri di balik pintu kaca. Sepertinya ia sedang melakukan proses tawar menawar harga. 

Maaf, untuk foto jalanan dan keadaan di sana tidak ada, karena memang di distrik tersebut kamera tidak boleh digunakan. Anda boleh kecewa sekarang.

Setelah melewati distrik tersebut, saya berada di sebuah gereja besar yang sudah tidak terpakai. "Jadi, biasanya orang-orang yang habis berbuat dosa di Red Light District, mereka akan semacam minta pengampunan di gereja ini. Tapi sekarang gereja ini sudah tidak dipakai, karena gereja yang baru ada dibangun di dekat sini juga." jelas dr. Alfi.

Hari itu kebetulan sedang Monument Day, sehingga akses masuk ke beberapa museum di Belanda sedang di gratiskan atau diberi potongan harga. Gereja tua tersebut sedang mengadakan semacam pameran lukisan di dalamnya, dan para pengunjung tidak dikenakan biaya karena sedang Monument Day. Lukisan di dalam gereja tersebut kebanyakan menggambarkan mengenai kemanusiaan, salah satunya tentang pasangan gay.

Perjalanan kemudian kami lanjutkan ke salah satu toko buku yang terletak di tengah kota. Toko buku tersebut tidak begitu luas, namun terdiri dari 4 lantai dan memuat buku-buku yang sangat lengkap mulai dari buku mantera setan, hingga komik manga. Bahkan, saya menemukan satu buku absurd, yakni buku diary. Diary mengenai BAB. Lengkap dengan kolom untuk menggambar bentuk dan menulis info "emas" yang kita lihat setiap harinya.

Saya membeli buku biografi Kurt Cobain "Heavier Than Heaven" untuk Eben, karena ia memang penggemar berat band Nirvana. Setelah membayar dan dr. Alfi juga sudah menemukan buku titipan dari teman beliau, kami bergegas pergi dan menuju tempat lain.

Kali ini kami tiba di sebuah toko unik yang tidak pernah saya temukan di Indonesia. Toko kondom. Di display kaca depan toko tersebut, dipajang berbagai bentuk kondom yang unik-unik.

"Mau masuk?" tanya dr. Alfi.

"Ah, gak usah dok. Ayo kita lanjut jalan!" jawab saya malu-malu sambil tertawa kecil. Tentunya akan sangat awkward jika saya masuk ke toko tersebut dan berkata ke dr. Alfi "Ih, ini kondomnya lucu ya, dok!".

"Nah, itu ada toilet cewek" tunjuk dr. Alfi ke salah satu toilet publik yang bentuknya sering kita lihat di acara TV barat.

"Klo toilet cowoknya yang mana dok?" tanya saya keheranan, karena toilet tersebut hanya ada 1 saja.

"Itu yang di dekat jembatan." balas dr. Alfi. Saya menyipitkan mata untuk fokus karena saya pikir beliau salah tunjuk. Beliau menunjuk semacam bilik terbuka, yang hanya di tutupi seadanya oleh kerangka besi. Dan benar saja, ketika kami lewat dekat sana, bau pesing khas kencing sangat tercium pekat. Saya yang awalnya berniat untuk buang air kecil kehilang nafsu untuk melampiaskannya.

Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore lebih. Berhubung saya besok pagi akan pulang ke Indonesia dan saya belum packing persiapan pulang, maka kami berjalan pulang menuju stasiun Amsterdam.

"Saya habis ini mau nonton sama teman, jadi kita nanti pisah di stasiun Leiden Central ya." ucap dr. Alfi. Beliau kemudian menjelaskan kereta mana yang harus saya naiki.

Saya menaiki kereta sesuai dengan instruksi dr. Alfi dan duduk bersantai sejenak karena di layar kereta tersebut memang bertuliskan salah satu destinasinya adalah Den Haag Central.  Di tengah perjalanan, seorang petugas kereta datang. Ia memeriksa tiket kereta para penumpang. Pemeriksaan tiket kereta sebenarnya sangat jarang dilakukan, tapi kebetulan saya menaiki kereta yang sedang dilakukan pemeriksaan tiket. Saya menunjukkan tiket PP Den Haag-Amsterdam yang saya beli di pagi hari sebelumnya.

"ticket afsfjafei." ucap petugas wanita tersebut sembari mengembalikan tiket. Saya tidak mengerti apa yang ia bicarakan karena ia menggunakan bahasa Belanda, sementara kosa kata bahasa Belanda yang saya tahu hanya "Achtung!", dan saya baru ingat jika itu bahasa jerman.

Di tengah perjalanan pulang saya mendapat whatsapp dari dr. Alfi, "Tadi kamu waktu naik kereta pulang diperiksa tiketnya?"

"Iya dok. Kenapa?"

"Harusnya, klo tiket yang dapat diskon karena berpergian dengan orang yang member itu, harus bersama pemegang kartunya." 

Untunglah petugas pemeriksa tiket tadi tidak menyadari jika saya menggunakan tiket diskonan.

Bersama dr. Alfi (angle foto disebabkan tidak ada yang membantu foto)

Den Haag, 15 September 2013 08.00 AM


Saya berjalan keluar hotel untuk mencari makan malam. Kebab jumbo sisa tadi siang sudah dihabiskan, akan tapi perut masih meminta asupan gizi lebih.  Kebetulan tidak jauh dari hotel tempat saya menginap ada restoran cepat saji seperti KFC, Burger King, dan McDonald.

Saya masuk ke restoran KFC dan memesan paket yang paling sedikit porsinya, yaitu paket yang berisi 2 ayam, 1 kentang, dan 1 pepsi. Saya melihat ada Bu Robiani dan suaminya yang juga sedang makan di salah satu meja. Saya menghampiri mereka dan dipersilahkan untuk makan bersama di samping mereka.

Selesai makan, saya melihat Bu Robiani membuang sisa-sisa makanan di piringnya ke tempat sampah yang disediakan dan meletakkan nampan di tumpukan dekat tempat sampah tersebut. Saya baru tau jika KFC di sini, setelah makan pelanggannya harus membersihkannya sendiri. Berbeda dengan Indonesia yang meninggalkan tulang belulang dan muncratan saus begitu saja di atas meja begitu selesai makan.

Bagi saya, hal ini merupakan hal yang sangat bagus. Seandainya saja tidak hanya KFC di Belanda, tapi juga KFC di Indonesia memberlakukan peraturan itu. Restoran cepat saji merupakan salah satu destinasi tempat makan favorit anak-anak, jika hal tersebut diberlakukan anak-anak akan terlatih untuk mandiri dalam membersihkan sisa makanannya, dan hal tersebut akan menjadi habit di setiap kegiatan makan selanjutnya.

Selesai makan, kami bertiga berjalan pulang menuju hotel. Kami memilih melewati jalanan di dekat restoran yang menaruh penghangat karena cuaca malam itu lebih dingin dibanding hari-hari sebelumnya.