Jakarta, 27 Agustus 2014


"Pak boleh minta tips dalam membuat lagu daerah?" tanya Eben ke Pak Bambang, juri lomba cipta lagu Hari Ikan Nasional yang diadakan Menteri Perikanan saat kami menghadiri undangan sebagai juara.

"Coba kalian buat lagu daerah dengan beat yang unik seperti salsa atau latin."

"Klo untuk porsi instrumen musik daerah sendiri bagaimana, Pak?" tanyaku

"Cukup sedikit saja." Pak Bambang menjawab dengan tegas. "Porsi alat instrumen daerah di lagu daerah sebaiknya sedikit saja. Memang perlu ada, hanya saja jangan terlalu banyak. Anggap instrument tersebut sebagai pemanis nuansa ethnis di lagu tersebut."

Aku dan Eben hanya manggut-manggut mendengar jawaban Pak Bambang. Jawabannya di luar dugaan kami, akan tetapi alasannya cukup masuk akal.

"Kalian dari Banjarmasin, kan? Coba kalian dengarkan lagu Orkes Rindang Banua. Mereka menggunakan beat yang unik dalam lagu-lagunya. Itu sebabnya anak muda pada era 60-an sangat gemar dengan lagu dari mereka."

"Baik, Pak."

Setelah berbicara panjang, kami kemudian pulang ke apartemen kakak saya di Jakarta untuk beristirahat. Sesampainya di apartemen, saya membuka youtube untuk mendengarkan lagu Orkes Rindang Banua. Saya memutar pilihan yang tersajikan paling atas, yaitu sebuah lagu yang berjudul "Kapal Api Gandengan Dua".



Ketika mendengarkan lagu tersebut, kami berdua sangat takjub. Lagu itu memiliki pattern intro musik yang sangat mirip dengan lagu Smoke On The Water-nya Deep Purple. Padahal rekaman lagu tersebut telah ada 10 tahun sebelum lagu Smoke On The Water keluar. Jelas saja masyarakat banjar banyak yang suka dengan lagu tersebut, karena pada era tahun 60-an musik yang sedang ngetrend adalah aliran rock n roll.  

Ok, satu pesan dari Pak Bambang yang berhasil kami petik adalah: Ikutilah era musik yang sedang nge-trend untuk bisa membuat lagu daerah disenangi masyarakat.


***

Banjarmasin, September 2014


Saat itu saya berencana mengikuti lomba cipta lagu daerah yang diadakan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, karena semua teman musisi yang saya temui di Hari Ikan Nasional juga mengikuti lomba tersebut. Saya dan Eben kembali brainstorming berdua memikirkan bagaimana lagu yang akan kami ciptakan.

Tahun lalu kami sudah pernah mengikuti lomba ini, namun lagu kami tidak masuk ke final. Lagu yang kami kirim berjudul "Angin Manyaru". Lagu ini bercerita mengenai keresahan kami terhadapa budaya banjar yang sering tidak diperhatikan generasi muda. Lagu tersebut kami buat dengan musik dan nada yang sangat banjar, namun apa daya belum mendapatkan hasil.



Untuk tahun ini, kami mencoba membuat lagu yang lebih modern sesuai dengan pesan dari Pak Bambang. Berbagai nada kami eksperimenkan, namun masih belum mendapatkan ide juga. Kami juga masih mencari apa kata khas banjar yang cocok untuk dijadikan bagian 'bom' di reffnya.

"Kayuh Baimbai" ucapku ke Eben.

"Kurang bagus, coba cari lagi istilah banjar yang lain." jawabnya.

Saya tetap bersikeras dengan judul lagu Kayuh Baimbai. Saya tiba-tiba teringat dengan nada lagu yang saya buat untuk mengikuti jingle anti korupsi (yang tidak jadi kami ikuti karena deadline-nya sempit).

"Kayuh, kayuh, kayuh baimbai" aku mencoba menyanyi dengan suara seadanya. Eben kemudian mencoba memperbaiki nada yang saya nyanyikan sehingga terdengar lebih menarik lagi.

Untuk nada lagu tersebut, saya terinspirasi dari lagu Taylor Swift - Stay, Stay, Stay, di mana saya meniru untuk bagian pengulangan kata dalam reff. Sementara untuk bagian chord lagu, saya terinspirasi dari lagu Michael Jackson - Love Never Felt So Good, yang saya ambil sedikit bagian perpindahan nada dasar sehingga membuat lagu kami terdengar menarik. Kebetulan dua lagu tersebut merupakan yang sering saya dengar saat itu.

Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya jadilah demo mentah lagu tersebut.

Dua minggu setelah membuat demo lagu tersebut, saya masih stuck untuk membuat aransemen. Bayangan musiknya sudah ada di dalam kepala, hanya saja niat untuk memulai mengerjakannya sangat susah. Akhirnya saya meminta Eben ke rumah untuk membantu saya membuat musiknya. 

Saat Eben tiba di rumah, saya mau tidak mau harus menyalakan komputer dan mulai mengerjakan musik. Baru saja membuka software Studio One, saya langsung dengan mudah menuangkan isi kepala saya, sementara Eben hanya duduk mengamati. Kendala yang sempat saya alami hanya di bagian aransemen interlude lagu. Tiba-tiba saya teringat part dari lagu Franz Ferdinand - Take Me Home, ada part lagu yang sangat mengajak kepala bergoyang. Saya kemudian membuat semacam aransemen rock and roll tapi juga tetap berwarna ethnis menggunakan panting untuk bagian interlude lagu.

Selang beberapa jam kemudian, musik mentah sudah jadi. Kami kemudian men-take demo vocal untuk Niluh, penyanyi yang kami rasa cocok untuk menyanyikan lagu ini.


Sebulan kemudian, saya sudah berjanji dengan Niluh untuk take vocal. Niluh sudah berada di rumah saya, namun Eben belum menampakkan batang hidungnya. Ia sedang sidang skripsi dan menurutnya akan selesai siang, sehingga sore hari sempat untuk membantu mengarahkan take vocal Niluh. Akan tetapi, ternyata sidang Eben berlangsung lebih lama sehingga saya terpaksa men-direct sendirian vokal Niluh untuk pertama kalinya. Sebenarnya tanpa saya bantu direct-pun Niluh sudah bernyanyi dengan sangat baik.



Setelah Niluh selesai take saya mengirim hasilnya ke Eben. Komentarnya hanya satu:"Niluh ini jangan-jangan bukan orang Bali, tapi orang Banjar murni." Komentar Eben ada benarnya, karena ketika saya mendengarkan ulang, Niluh bernyanyi dengan menggunakan cengkok khas penyanyi Banjar yang bahkan tidak ada kami suruh atau contohkan.

Setelah menjalani proses mixing dan mastering dalam waktu singkat (hanya dua hari) karena dikejar deadline lomba, akhirnya lagu tersebut selesai dan kami kirim ke panitia tepat pada hari deadline. Mengerjakan lagu tersebut penuh tantangan bagi saya, karena saat saya mengerjakan recording, mixing, dan mastering, saya sedang menjalani minggu ujian di stase Penyakit Dalam.

Anyway, ini dia hasil dari lagu tersebut:

***

Banjarmasin, 8 Oktober 2014


Saat itu saya sedang berada di stase syaraf. Sebuah notifikasi e-mail masuk ke tab saya dan ketika saya cek ternyata berisi pemberitahuan bahwa lagu daerah ciptaan saya masuk 15 besar. Saya senang bukan main dan menghubungi Eben dan Niluh.

Selang beberapa hari kemudian, saya kembali mendapatkan e-mail. Kali ini benar-benar membuat saya sangat kaget. Lagu kami dinyatakan masuk 10 besar dan kami diundang untuk ke Jakarta. Sebuah pencapaian yang berarti banyak bagi kami. Kami langsung menyiapkan semua persyaratan yang dibutuhkan oleh panitia.


Menggunakan baju banjar, namun apa daya wajah lebih membuat kami mirip paman nasi padang
 
Mendapat pesan dari Pak Halim, guru agama saya saat SMA. Membacanya membuat saya terharu.

Berita kami di koran Metro Banjar


***

Jakarta,  14 Oktober 2014


Saya sudah mengantongi izin meninggalkan koas selama 2 hari untuk mengikuti acara ini, sehingga saya merasa tenang selama keberangkatan. Setibanya di Jakarta, kami dijemput oleh panitia.

Di bandara, saya bertemu dengan salah satu peserta lainnya yang sudah tidak asing lagi bagi saya, yakni Rico. Ia salah satu finalis cipta lagu Hari Ikan Nasional juga sehingga kami sudah saling kenal. Saya juga berkenalan dengan Yudi dari Yogyakarta, juga Asrul dan Budhi dari Aceh. Setelah kami semua terkumpul kami kemudian makan siang bersama sebelum akhirnya menuju ke hotel untuk beristirahat sejenak.


Makan siang bersama panitia dan finalis

Dari kiri ke kanan: Budhi, Yudi, Asrul, Paman nasi padang 1, Paman nasi padang 2, Richo
Undangan acara malam final LCLPDN 2014

Setelah tiba di hotel kami kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke tempat pelaksanaan lomba, yakni di Gedung Sapta Pesona Balairung Soesilo Soedirman.

Setibanya di tempat acara, saya bertemu dengan rekan-rekan finalis lainnya yang memang berdomisili di Jabotabek. Rasanya senang sekali berkumpul dengan sesama musisi yang peduli dengan musik daerah lokal. Kami kemudian berkenalan satu sama lain dan saling bertukar kontak. Ada Ronald Wilson musisi yang karyanya sering saya dengar karena memang bagus-bagus, Jovan yang berusia 19 tahun dan masih berprofesi sebagai pelajar SMA (ini keren, masih muda tapi sudah hebat menciptakan lagu), Willy, Tedy, dan Widy.

Kami kemudian makan malam bersama di tempat yang disediakan panitia sambil menunggu acara di mulai.



Acara akhirnya dimulai. Yang bertugas sebagai band pengiring adalah Dwiki Dharmawan Ensemble yang musikalitasnya sudah tidak diragukan lagi. Saya sangat penasaran akan seperti apa lagu saya nanti ditangannya.  Juri saat acara tersebut ada 4, yakni: Rieka Roslan (The Groove), Ivan Nestorman, Teddy (Nasyid Snada), dan Bens Leo (sedang berhalangan hadir). Mendengar nama Teddy dari tim nasyid Snada saya dan Eben langsung tersenyum, karena memang grup nasyid Snada memiliki kenangan bagi kami yang juga pemain nasyid sejak SMA.
 
Lagu pertama yang dibawakan adalah lagu Betawi Kite cipta Ronald Wilson yang dinyanyikan oleh Nina Tamam. Lagu tersebut sangat easy listening dan benar-benar menawarkan keindahan. Bahkan cukup dengan sekali mendengar saya masih tetap ingat sampai sekarang dengan lagunya.

Setelah lagu tersebut, beberapa lagu karya peserta lainnya silih berganti ditampilkan oleh artis ternama, mulai dari Matthew Sawyers, Ita Purnamasari, dll. Lagu yang menjadi favorit saya sendiri adalah lagu Neng Suroboyo Rek ciptaan Rico. Lagu tersebut sangat unik dan punya 'racun' sehingga membuat pendengarnya ketagihan. Rico memang ahli dalam membuat 'racun' dalam setiap lagu ciptaannya.

"Yang namanya Jefry siapa?" tanya seorang panitia kepada kami di kursi deretan peserta.

"Saya, Mba!"

"Habis ini lagu kamu lagi yang ditampilkan. Tolong klo lagunya sudah hampir selesai stand by di samping panggung ya untuk menghemat waktu."

Benar saja, setelah lagu ke-6 MC mengumumkan bahwa lagu berikutnya adalah kami. Jantung saya berdegup kencang bercampur rasa penasaran yang sangat hebat akan bagaimana wujud lagu saya ditangan seorang musisi kelas Internasional.

Beat drum berirama latin memulai intro lagu tersebut.

"Kayuh Kayuh Kayuh Baimbai" suara backing vocal memulai lagu tersebut sebagai intro diiringi dengan 3 orang penari yang mengenakan pakaian daerah banjar.

"Anjis!!!! Baru intronya aja udah bagus banget!!!! Saya saja tidak kepikirian untuk membuat intronya seperti itu!!!!" pikirku.

Dari balik panggung muncul seorang wanita dengan suara yang begitu indah menyanyikan lirik lagu saya. Wanita tersebut adalah Nina Tamam. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya lagu buatan saya akan dinyanyikan olehnya. Ketika saya masih SD, saya hanya bisa menonton Nina Tamam menyanyi dari layar kaca bersama grup vokalnya, Warna. Sekarang saya bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri secara langsung lagu saya dinyanyikan oleh salah satu idola saya saat masih kecil.

Saya sangat menikmati dengan sepenuh hati penampilan tersebut. Beberapa kali saya mendengar Nina Tamam agak lupa lirik dan kesulitan menyanyikan lagu saya. Hal ini sangat wajar karena sulit untuk menghapal bahasa banjar bagi orang yang tidak pernah tinggal di banjar.

Di bagian interlude lagu saya kembali penasaran akan seperti apa Dwiki Dharmawan mengaransemennya, karena saya ada menggunakan instrument khas banjar, yakni panting, sedangkan di panggung saya tidak ada melihat pemain panting. Di luar dugaan, Dwiki Dharmawan justru menggunakan sequencer dari mp3 lagu saya ketika bagian interlude lagu. Mungkin karena beliau tidak ingin menghilangkan unsur ethniknya.




Setelah lagu selesai ditampilkan, tiba saatnya sesi tanya jawab antara juri dan pencipta lagu. Saya dan Eben menaiki panggung. Kami berdua sangat gugup karena ini pertama kalinya berada di acara sebesar itu.




"Saya suka bagian reff-nya." ucap Rieka Roslan. "Kayuh kayuh kayuh baimbai." Rieka Roslan menyanyikan lagu saya. Saya sangat senang mendengarnya.

"Kalian berdua ya, bikin lagunya? Ga berantem klo berdua bikin lagunya?"

"Iya mba, kami berdua. Kami biasanya brainstorming bareng tiap bikin lagu, ko." jawabku.

"Untuk lagu ini sendiri maknanya bagaimana sih?"

"Jadi Kayuh Baimbai itu sebuah peribahasa banjar, di mana artinya adalah gotong royong, sedangkan secara harfiah artinya adalah dayung bersama. Indonesia, jika dilihat dari peta, strukurnya seperti sebuah kapal. Kami ingin seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke mendayung bersama (gotong royong) untuk memajukan Indonesia." timpalku.

"....d.sadefefefef" kali ini saya tidak mendengar pertanyaan Rieka Roslan saking gugup dan blank-nya. Saya ingin minta diulang pertanyaannya, tapi takut tidak sopan. Melihat saya hanya terdiam kebingungan Eben membisiki saya "Di bagian reff dan interlude".

"Di bagian reff dan interlude lagu, Mba." jawabku mengikuti bisikan Eben. Belakangan baru saya tau, pertanyaan dari Rieka Roslan adalah apakah ada nada banjar yang dibuat untuk lagu ini.

Juri selanjutnya yang bertanya kepada kami adalah Ivan.

"Reff-nya sangat percusive sekali! Seperti lagu-lagu dari Afrika atau Amerika Selatan. Kalian memang sering dengar lagu dari sana, ya?" tanyanya.

Saya kembali terdiam. Otak saya kembali hang. Tidak mungkin saya menjawab "Tidak, Pak. Saya sih seringnya mendengarkan lagu-lagu dari Taylor Swift dan My Chemical Romance.". Saya berpikir keras siapa musisi afrika yang saya tau, namun..... ah! otak saya sama sekali tidak bisa berpikir. Musisi latin yang saya ingat justru Pitbull.

"Bob Marley." bisik Eben kepadaku. Ah, iya! Bob Marley! Kali ini saya memberikan mic-nya kepada Eben untuk menjawab.

"Bob Marley kami sering denger, selain itu juga The Police kami sering ambil irama reggae-nya." jawab Eben.
Eben membantu saya menjawab pertanyaan juri

"Oh... sering denger The Police juga ya." balas Ivan.

Juri terakhir yang bertanya adalah Teddy Snada.

"Lagu dari Kalimantan Selatan banyak yang terkenal di nasional, seperti Saputangan Babuncu Ampat, Paris Barantai, dll. Lagu kalian punya kualitas untuk menjadi seperti lagu tersebut."

Akhirnya selesai sudah sesi tanya jawab dengan juri. Saya menuruni panggung dengan perasaan sangat lega. Setelah ke-10 lagu selesai ditampilkan, saya menuju ke belakang panggung untuk menemui Nina Tamam.

"Mba Nina Tamam, saya yang menciptakan lagu Kayuh Baimbai."

"Wah, maaf banget ya tadi salah-salah nyanyi-nya." potong-nya.

"Gak papa ko, Mba. Tadi nyanyi-nya udah bagus banget. Memang ada keturunan dari Banjar ya, Mba?"

"Ibu saya orang Banjar. Tapi saya sendiri belum pernah ke Banjar. Jadi untuk ngertiin lagunya, saya banyak nanya ke ibu saya."



Nina Tamam sangat ramah dan lembut kepada kami. Saya sangat mengagumi sosoknya. Meskipun umurnya dengan kami sangat jauh beda, namun ia nampak seumuran dengan kami. atau kami-nya yang nampak lebih tua?

 
Bersama Refly Kande



Sudah 10 lagu karya finalis yang ditampilkan. Saya dan Eben yang awalnya optimis bisa tembus 3 besar, tiba-tiba menjadi menciut karena mendengar karya peserta lainnya yang sangat bagus-bagus. Saya sempat berkata ke Eben,"Klo kalah ya gak papa, toh masuk 10 besar juga sudah suatu prestasi."

Nyali kami semakin menciut lagi ketika mendengarkan lagu Kayoh ciptaan Asrul dari Aceh. Lagunya sungguh orkestral, dimulai dengan sedih dan diakhiri dengan sangat meriah. Juri sampai memberikan standing ovation. Lagu mereka dinyanyikan oleh Refly Kande, penyanyi asal Aceh yang juga menjabat sebagai anggota DPD RI. Selain itu, juga ada lagu Idi Gama Nene' Kaji ciptaan Tedy yang sangat mendalam. Lagunya bercerita mengenai budaya sasak, semacam budaya mencuri pasangan dari orang lain. Lagunya sukses membuat Rieka Roslan menangis.

Tiga puluh menit setelah proses rapat internal juri untuk menentukan juara, para peserta lomba cipta lagu diminta untuk naik ke atas panggung untuk pengumuman pemenang. Satu persatu kami naik ke atas panggung. Saya dan Eben sama sekali tidak ada rasa optimis untuk menang karena melihat persaingan yang begitu berat. Ini bukan sekedar sok rendah diri, tapi berpikir realistis.



"Juara harapan III jatuh kepada......." kedua MC menarik napas dalam-dalam. Saya dan Eben berdoa setidaknya kami bisa menjadi juara harapan III.

"Tari Rentak Melayu cipta Geiskha dari Jambi!"  

 Hufffff...
Aku hanya bisa menghembuskan napas. Lagu tersebut memang sangat bagus. Saya menjadi semakin yakin bahwa akan pulang tanpa membawa juara karena kans kami semakin kecil untuk mendapatkan peringkat yang lebih besar.

"Juara harapan II jatuh kepada.........."

"Kayuh Baimbai ciptaan Jefry Albari dan Irwansyah N. dari Banjarmasin!"

Tiba-tiba Eben langsung memelukku dan bersorak kegirangan.

"Alhamdulillah ya Allah. Bisa masuk juga dalam 6 besar." Eben berteriak kegirangan disebelahku. Aku juga ikut sangat senang karena ternyata bisa masuk 6 besar dari 10 lagu yang memang semuanya berkualitas.


Untuk juara harapan 1 jatuh ke lagu Idi Gama Nene' Kaji cipta Tedy dari NTT, Juara 3 lagu Batik Ngayogyakarta cipta Yudi, Juara 2 lagu Kayoh cipta Asrul dan Budhi dari Aceh, dan Juara 1 jatuh kepada peserta termuda, yakni Jovan dari Bogor.

"Mau dikenalin sama cewek banjar gak? Biar gak galau lagi?" canda kami



Satu persatu juri berjalan menyalami kami, seluruh peserta lomba cipta lagu. Saat bersalaman dengan Kang Teddy Snada, saya spontan berkata "Kang Teddy, kami pejuang nasyid juga, loh!"

Tiba-tiba Kang Teddy langsung memeluk kami dan terlihat kaget. Beliau sangat senang karena bertemu sesama pejuang nasyid.



"Ayo kita nanti foto bareng di bawah!" ajak Kang Teddy kepada kami.

Setelah berfoto-foto dengan para juri, saya kembali melakukan ritual saya setiap lomba, yakni meminta masukan dan tips dari para juri untuk setiap lagu. Akan sangat rugi jika saya pulang tanpa mencuri ilmu dari para juri.

Bersama Kang Teddy Snada

"Ada 5 prinsip dalam pembuatan lagu: 1. Lirik 2. Nada 3. Penyanyi 4. Musik 5. Pasar. Lirik dipadukan dengan nada yang baik, kemudian dinyanyikan oleh penyanyi yang pas dan diiringi musik yang berkualitas. Tak lupa lagu tersebut dilempar ke pasar yang tepat. Maka jadilah sebuah lagu yang baik." ucap Kang Teddy

Bersama Ivan Nestorman

"Lagu kalian sudah bagus. Cuman masih agak datar. Coba lain kali buat lagunya lebih berwarna supaya tidak terkesan monoton, contohnya dengan menambahakan overtune." cerita Mas Ivan. Beliau ada benarnya. Saya lupa saat mengaransemen lagu tersebut untuk membuat sebuah 'cerita'.

Dengan Mba Rieka Roslan

"Gunakan nada-nada ethnik dalam lagu cipta lagu daerah sebaik mungkin. Belajar musik klasik dan jazz itu perlu, karena akan membuat kita memahami berbagai chord dan mengembangkan lagu yang kita buat menjadi lebih 'kaya'. Coba kamu dengar lagu yang juara 1 tadi, chord lagunya itu susah, loh. Makanya saya tau kalau yang menciptakan itu pasti les musik klasik. Dan terbukti memang benar saat saya tanya langsung tadi." kata Mba Rieka Roslan. Saya sebagai musisi klasik murtad yang berhenti mendalami musik klasik menjadi merasa bersalah.

Sang Maestro, Dwiki Dharmawan

"Prinsipnya menciptakan lagu itu ya ciptakan lah terus lagu sebanyak-banyaknya. Jangan berhenti. Kalian sudah bagus, kok." pesan Mas Dwiki Dharmawan kepada kami.

Setelah sukses menyerap ilmu baru hari itu dengan seluruh juri, kami akhirnya kembali ke hotel untuk beristirahat karena keesokan paginya pukul 7 kami harus sudah berada di bandara untuk keberangkatan ke Banjarmasin.

Berita kami di Koran Metro Banjar


***

Banjarmasin, 22 Oktober 2014


Saya sudah berada di depan TV bersama keluarga untuk menyaksikan tayangan ulang lomba cipta lagu daerah di channel Metro TV. Dari e-mail yang saya terima oleh panitia, tayangan ulangnya hanya berdurasi 30 menit, yang berarti setiap lagu tidak bisa ditayangkan secara penuh mulai awal sampai akhir. Hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang menayangkan cuplikan setiap lagu lengkap dari awal hingga akhir, mungkin karena ada beberapa faktor keterbatasan di tahun ini.





Saya sangat senang menyaksikan siaran ulang acara tersebut. Karena pada saat itu ada 3 dalam puluhan mimpi besar dalam hidup saya yang berhasil diwujudkan:
1. Lagu ciptaan saya dinyanyikan artis besar
2. Mendengar lagu ciptaan sendiri diaransemen oleh musisi berkelas  
3. Bisa mendengar lagu ciptaan saya di televisi yang disiarkan se-Indonesia.

Sebenarnya masih ada banyak lagi mimpi besar dalam hidup saya yang belum terwujud. Harapan saya setiap tahunnya tetap sama. Semoga mimpi besar itu bisa saya gapai satu persatu.

Terakhir, postingan ini sepertinya akan kurang lengkap jika pembaca sekalian belum menonton video lengkap penampilan Nina Tamam menyanyikan lagu ciptaan saya. Maka, selamat menyaksikan video berikut ini: