Sekitar 2 tahun yang lalu saat saya akan mengikuti ajang cipta lagu daerah, saya sempat survey kecil-kecilan dengan teman saya sesama musisi mengenai lagu banjar. Apa yang menjadikan ciri khas dari sebuah lagu sehingga bisa disebut sebagai lagu banjar? 

Kami kemudian mencoba mengulik lagu-lagu banjar yang cukup terkenal seperti Saputangan Babuncu Ampat, Paris Barantai, Sungai Martapura, Ampar-Ampar Pisang, Mancari Si Jantung Hati, Uma Abah, Baras Kuning, dan lainnya. Pada lagu Saputangan Babuncu Ampat dan Ampar-Ampar pisang, nada yang dimainkan adalah nada diatonis biasa. Sedangkan pada lagu banjar lainnya, nada yang dimainkan memiliki ciri khas yaitu adanya harmonic major scale (nada ke-6 pada tangga nada mayor diturunkan setengah) pada beberapa bagian lagu.

Berbeda dengan lagu daerah Jawa yang sangat jelas dengan pakem pentatonik-nya, saya saat itu cukup kebingungan untuk menentukan ciri khas lagu banjar. Sehingga akhirnya saya membuat lagu yang berjudul Kayuh Baimbai dengan nada diatonis standar berpedoman pada lagu Saputangan Babuncu Ampat dan Ampar-Ampar Pisang.

Pada tanggal 7 April 2016, saya berkesempatan sharing dengan salah seorang pencipta lagu banjar, Pak Dino Sirajuddin tentang bagaimana ciri khas lagu banjar. Menurut beliau masyarakat penikmat musik banjar terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah yang bisa menerima semua aliran, di mana asalkan lagu tersebut berbahasa banjar, maka itu sudah dapat dikategorikan sebagai lagu banjar. Sedangkan aliran kedua adalah orang-orang yang beranggapan lagu banjar harus ada ciri khas atau rasa lagu banjar, yang jika tidak ada “rasa” tersebut maka belum cocok disebut sebagai lagu banjar.

Saya dengan Pak Dino

Pada prinsipnya memang setiap lagu daerah atau negara masing-masing punya ciri tersendiri. Misalnya lagu Cina dengan pentatoniknya, Arab dengan arabian scale dan lainnya. Bahayanya adalah di-era perkembangan yang serba pesat ini, banyak lagu-lagu yang mulai mengikis ciri khas dari lagu daerah tersebut. Hal yang paling dikhawatirkan adalah pada masa depan nanti masing-masing lagu daerah tidak ada “rasa” yang unik pada masing-masing lagu sehingga semua lagu daerah nanti menjadi sama.

Pendapat orang yang berkata bahwa lagu banjar harus memiliki “rasa” banjar sendiri jika ditanya “Bagaimana, sih, ciri lagu banjar itu?” akan kesulitan menjawabnya karena tidak bisa menjabarkan dengan baik secara teori. Tapi, dari diskusi dengan Pak Dino dapat diambil beberapa kesimpulan tentang ciri khas lagu banjar.

  1. Harmonic major scale pada beberapa bagian lagu. Sehingga jika kita bermain di nada dasar C, pada beberapa bagian lagu kita menurunkan nada ke-6 yaitu A menjadi G# sehingga kita akan memainkan chord Fm bukan F.  
  2. Lagu banjar berasal dari gumaman. Apabila ingin membuat lagu banjar, maka lebih dianjurkan dari gumaman nada mulut baru kemudian mencari chord-nya. Kebanyakan orang membuat lagu dengan berdasarkan chord terlebih dahulu kemudian mencari nada yang baik. Selain itu, kita perlu berkontemplasi dengan lingkungan yang sangat banjar. Salah satunya bergaul dengan orang-orang banjar yang masih sangat “medok” cara bicaranya dan mengalami sendiri budaya-budayanya. 
  3. Alunan penyanyi alias cengkok. Penyanyi banjar memiliki cengkok yang sangat unik dengan lagu daerah lain. Untuk bagaimana menuliskannya secara teori sendiri saya masih kebingungan. Orang yang ahli menyanyi lagu banjar biasanya cenderung mengasingkan diri dari lagu luar, sehingga cara menyanyi ala banjarnya sangat kental. Kalaupun ia disuruh menyanyi lagu barat, maka lagu barat tersebut akan terkena “rasa” banjar karena dinyanyikannya.

Sementara itu, lagu banjar yang terkenal seperti Ampar-Ampar Pisang sendiri tidak memiliki ketiga ciri di atas. Pak Dino berpendapat bahwa lagu seperti Ampar-Ampar Pisang dan Saputangan Babuncu Ampat merupakan lagu banjar yang paling awal dibuat. Kemudian setelah itu, Pak Anang Ardiansyah (maestro pencipta lagu banjar) membuat lagu-lagu yang memiliki ciri khas “rasa” banjar dengan ketiga ciri yang telah disebutkan tadi.

Untuk mudahnya, saat ini lagu daerah terbagi menjadi dua aliran. Aliran World Music (lagu nusantara) dan lagu daerah (etnik). World Music merupakan lagu daerah dengan konsep ciri khas yang minimal sehingga berbagai masyarakat di seluruh penjuru dunia dapat menikmati dan menyanyikannya, sedangkan lagu daerah/ etnik memiliki ciri khas yang sangat kental. Jadi lagu-lagu seperti Ampar-Ampar Pisang dapat digolongkan sebagai world music sementara lagu seperti Paris Barantai masuk ke lagu etnik karena memiliki ciri khas “rasa” banjar pada lagunya.

Pendapat dari tokoh seniman banjar lainnya sendiri, Pak Mukhlis Maman atau yang akrab disapa Julak Larau, berpendapat bahwa lagu banjar terbagi menjadi tiga. Yang pertama lagu rakyat, kedua lagu daerah, dan ketiga lagu pop. Nah, yang masuk ke lagu pop adalah lagu-lagu banjar dengan nada diatonis standar. Sehingga sah-sah saja jika orang mencipatkan lagu berbahasa banjar tapi tidak dengan ciri khas “rasa” banjar dapat dikatakan sebagai lagu banjar.

Mungkin itu beberapa point yang saya tangkap dari beberapa tokoh musik banjar, tentunya perlu ada diskusi lebih lanjut yang membahas ciri lagu banjar ini agar dapat didokumentasikan dengan baik sehingga generasi penerus tidak kebingungan jika ingin membuat lagu banjar. 

UPDATE:
Acara diskusi lagu banjar telah dilaksanakan pada bulan Mei 2016. Berikut ini hasil kesimpulannya: