“Perlakukan pasien sebagaimana kamu ingin diperlakukan” pesan konsulen saya ketika saya kuliah. Saya ingat betul dengan ucapan beliau, karena pesan tersebut tidak hanya sekali disampaikan, melainkan berulang kali. Awalnya saya kurang begitu memahami dengan makna dibalik ucapan tersebut. Kedengarannya sederhana, tetapi pada kenyataannya sulit untuk dilakukan.

Suatu hari di ruang IGD, di mana pasien-pasien datang memenuhi semua sudut ruangan.Hari itu kebetulan tanggal merah, yang berarti pasien yang seharusnya berobat di poli menjadi “tamu” di IGD. Saya dan teman-teman saya sesama dokter muda mulai melayani satu persatu pasien yang berdatangan. 

“Tahan ya, bu. Sakit sebentar. Jangan banyak gerak nanti pembuluh darahnya malah jadi gak jelas. Susah untuk diambil darahnya.” bujuk saya ke seorang ibu paruh baya yang terbaring di brankar IGD. Ia direncanakan untuk diambil darahnya sebagai sarana pemeriksaan penunjang.

*kress*

Jarum suntik terasa menembus masuk ke dalam pembuluh darah di tangan ibu tersebut, namun tiba-tiba ibu itu berteriak kesakitan dan menggerakan tangannya sangat kuat . Seketika tangan ibu itu menjadi bengkak kebiruan karena pembuluh darahnya pecah dan darahnya tidak dapat diambil. Saya hanya menggarukkan kepala.

“Bu, ini saya mau coba ambil lagi darah dari tangan yang sebelahnya. Tapi jangan gerak lagi seperti tadi, malah jadinya saya suntik ulang karena gak dapat darahnya.” pintaku dengan suara lemah setelah seharian tidak tidur karena pasien di IGD sejak kemarin cukup banyak. 

“Sakit mas nyuntiknya!” jerit ibu itu.

“Iya, bu. Tahan ya, sebentaaaarrr aja. Sakit dikit, kok

Setelah meminta bantuan ke rekan jaga sekelompokku untuk membantu memegang tangannya, akhirnya darah ibu tersebut berhasil di ambil. 

Sebenarnya cukup sering kami para dokter muda menyuntik pasien berulang kali karena kesulitan mengambil darah dalam pembuluh darah pasien. Banyak faktor penyebabnya, mulai dari pasien yang kurang kooperatif, pembuluh darah yang kecil, hingga faktor kurang konsentrasi kami. Maklum, proses pendidikan mewajibkan kami terjaga selama 36 jam nonstop, sehingga sering kami kelelahan dan tidak dapat bekerja secara maksimal.

Terkadang saya berpikir dengan pelayanan yang saya berikan ke pasien ketika saya proses pendidikan. Apakah yang saya berikan telah maksimal? Apakah seandainya saya diperiksa oleh diri saya sendiri seperti tadi akan merasa nyaman? Saya pribadi selalu berusaha untuk tetap ramah dan memeriksa sebaik mungkin pasien yang di hadapan saya. Karena mereka adalah guru dalam proses pendidikan kami.

 --Dua Bulan Kemudian--

Dua minggu telah saya lalui sebagai koass di bagian anestesi, yang berarti tinggal 1 minggu terakhir, yakni minggu ujian. Saya yang saat itu bertugas di ruang operasi tiba-tiba merasa bahwa AC ruangan sangat dingin. Bahkan lebih dingin dari biasanya, seolah suhu ruangan menusuk langsung ke tulang. Awalnya saya mencoba menahan diri, sampai akhirnya saya merasa sangat kedinginan. Saya langsung keluar ruang operasi dan menuju kamar dokter muda untuk menghangatkan diri di balik selimut. Di saat itu saya sadar bahwa ternyata saya demam sangat tinggi.

Singkat cerita, saya kemudian meminta izin ke konsulen untuk pulang karena sakit. Saya kemudian di-diagnosis menderita Demam Berdarah dan diharuskan rawat inap sekitar seminggu, yang berarti saya tidak dapat mengikuti ujian. Cukup sedih memang, tapi, yah, mau bagaimana lagi.

“Mas, tangannya saya pasang infus, ya. Tahan ya, sakit dikit.” ucap perawat dihadapanku.

*kress*

Jarum terasa menusuk tangan saya. Saya sempat tergerak sedikit karena kaget, namun tangan saya dipegangi seorang perawat lainnya.

Keesokan harinya, hasil pemeriksaan darah saya kemarin sudah keluar, hasilnya sesuai dugaan. Angka trombosit saya turun di bawah normal. Dokter yang merawat saya kemudian menyuruh saya diambil darah setiap harinya untuk memonitor trombosit saya. Ya, saya akan disuntik setiap hari.

“Mas, tahan ya. Rileks aja tarik napas dalam-dalam.”

*kresss*

“Wah mas, jangan gerak ini jadinya lepas suntikannya. Tarik napas mas, rileks… Sakit dikit, kok”

*kresss*

Saat itu juga saya sadar, di suntik itu sakit. Dan disuntik berulang kali itu….. sangat sakit. There is no such things like sakit dikit ko…. Sialnya lagi, saya akan merasakan sakitnya disuntik selama beberapa hari ke depan.