Suatu hari saya membaca postingan salah satu teman yang memiliki latar belakang pendidikan non-kedokteran, isinya kurang lebih beranggapan jika untuk menjadi seorang dokter haruslah seorang anak orang kaya, dan kebanyakan karena anak orang kaya para mahasiswanya menjadi terbiasa dimanjakan.

Saya tahu tidak semua pendapat orang perlu dihiraukan, akan tetapi saya sudah terlalu sering membaca pandangan miring tentang pendidikan dokter dari orang awam. Mungkin tidak salah juga karena mereka tidak mengetahui bagaimana “isi” dari proses pendidikan dokter. Yang banyak orang ketahui adalah, seseorang tes masuk kedokteran, kemudian secara otomatis dalam kurun waktu beberapa tahun keluar sebagai dokter dengan mudah. Yah, mungkin Fakultas Kedokteran itu dianggap seperti mesin pencetak dokter otomatis.

Masalah apakah harus anak orang kaya untuk bisa menjadi seorang dokter, jawabanya tentu tidak. Saya kenal banyak teman yang orang tuanya sederhana saja, tidak begitu kaya, tapi bisa menyelesaikan pendidikan tanpa masalah. Saya melihat sendiri bagaimana usahanya untuk menguras pengeluaran, mulai dari mencatat textbook, berburu beasiswa, mencari pekerjaan sampingan, hingga makan makanan yang tidak dimakan pasien untuk menghemat uang makan.  Apakah dia anak orang kaya? Tidak. Apakah dia berhasil menjadi seorang dokter? Iya. 

Saya berkuliah selama 3,5 tahun untuk meraih gelar sarjana kedokteran. Kegiatannya seperti mahasiswa pada umumnya kuliah, praktikum, dan mengerjakan skripsi. Setelah itu saya masuk ke fase menjadi koass selama hampir 2 tahun untuk bisa meraih gelar dokter. 

Di fase koass ada banyak perjuangan yang saya lalui. Mulai dari jam kerja 36 jam non stop (ada beberapa fase juga dimana diwajibkan bekerja 7x24 jam nonstop), dan bahkan saya ingat harus berangkat ke rumah sakit pukul 3 pagi untuk memeriksa pasien yang sangat banyak. Di jalan menuju rumah sakit saya melewati tempat hiburan malam yang saat itu masih ramai muda-mudi dengan pakaian modisnya sedang asyik berkumpul. Hidup itu pilihan, ada yang memilih menggunakan waktunya untuk bersenang-senang tapi ada pula yang memilih untuk terus belajar.

Saya juga ingat ketika suatu malam saya ke WC di bangsal rumah sakit untuk buang air kecil namun yang terjadi saya malah tertidur sesaat di sana karena saking lelahnya. Atau saya yang mengisi waktu sahur saat bulan ramadhan dengan menjahit luka pasien sehingga akhirnya tidak sempat untuk makan. Lelah? Sudah pasti, tapi semua ini merupakan bagian proses yang perlu dilalui dengan sabar.


Di atas hanya segelintir cerita di balik proses panjang yang saya alami, ada banyak cerita duka-duka lainnya yang mungkin tidak akan habisnya untuk dituliskan. Tapi saya selalu ikhlas melalui semuanya demi meraih gelar dokter. Menjadi seorang dokter itu perlu proses yang panjang, tidak seperti yang dibayangkan orang. Fakultas Kedokteran bukanlah mesin pencetak dokter otomatis