“Dasar dokter goblok, gak lulus sekolah kedokteran! Semoga nanti dokternya kena penyakit seperti saya juga!” teriak seorang ibu paruh baya di hadapan saya. Anaknya yang sudah remaja hanya tertunduk berdiam diri di sebelahnya.

“Dokter yang kemarin bertugas di sini siapa? Gara-gara dia saya jadi bolak-balik begini. Kalau begini kan jadinya menyusahkan saya.” bentak ibu itu. Sorot matanya menatap tajam ke arah saya. “Seharusnya kalau ada aturan baru begitu diberitahukan ke saya, jangan seenaknya. Sudah begitu kemarin saya sakit gigi dibilang karena karang gigi, begitu saya periksa ke dokter gigi katanya tidak ada karangnya! Bagaimana, sih!”

Saya hanya terdiam sambil sesekali meng-iyakan saja ucapan ibu tersebut. Usut punya usut, ternyata obat bulanan ibu tersebut tidak dapat diambil karena ada kelengkapan yang kurang. Kekurangan tersebut sebenarnya bukan salah dokter yang bertugas kemarin, karena memang biasanya selama saya bertugas tidak memerlukan hal itu dan selama ini pasien-pasien lain baik-baik saja ketika menebus obat, mungkin aturan baru atau ada hal lain lagi ketika ibu itu menebus obat pikir saya saat itu.

“Ibu kerja apa?” tanya saya berbasa-basi berusaha mencairkan suasana.

“Saya jual ikan di pasar! Sudah dok, cepat lengkapi saja yang saya perlukan!”

Saya sama sekali tidak berusaha mencari pembelaan atau bahkan berniat menyalahkan rekan sejawat saya di hadapan ibu tersebut. Saya tahu apapun yang saya katakan, ibu ini akan tetap meledak-ledak di hadapan saya.

“Ini bu, silakan ke depan ya temui perawatnya.” ucap saya sembari menyerahkan selembar kertas. 

Ibu itu kemudian berjalan ke ruang tunggu. Di sana ia kembali berteriak-teriak kata kasar dan menyumpahi dokter. Pasien-pasien yang lain pun menjadi “kepo” dan mengerumuni ibu itu. 

Entah ini karena dampak pemberitaan negatif terhadap tenaga kesehatan di media-media nasional atau bukan, hanya saja beberapa pasien-pasien seringkali menyalahkan dan merekam dokter terlepas itu kesalahannya atau bukan. Tentunya ini agak mengganggu kenyaman seorang dokter dalam melaksanakan tugasnya.

Agak miris memang, seorang dokter yang berniat tulus untuk menyembuhkan pasiennya harus dibentak dengan kata-kata kasar. 

Menurut saya masyarakat luas harus menghargai profesi apapun itu, terlebih lagi profesi yang melayani masyarakat. Jika kita menghargai sesama, dokter menghargai pasien dan pasien menghargai dokter, maka komunikasi akan berjalan dengan baik.

Saya yakin, kita semua sebagai dokter pasti pernah dimarahi oleh pasien/ keluarga pasien karena miskomunikasi dan hal lainnya. Akan tetapi, di saat seperti ini sangat penting untung mengendalikan emosi dan menjelaskan sebisanya. Karena seringkali jika kita ikut terbawa emosi, justru akan semakin memperkeruh suasana dan orang-orang mencap buruk profesi dokter.

Semoga rekan sejawat dokter di seluruh Indonesia bisa tetap ikhlas dan sabar dalam melayani pasien terlepas dari segala pemberitaan buruk. Karena poin pertama dari sumpah dokter adalah “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.”