“Tuan Rahmat”
teriak Bu Hamid, perawat poli bedah melalui pengeras suara.
Dari balik
pintu nampak seorang wanita muda berusia 25 tahun mendorong seorang laki-laki
yang duduk di atas kursi roda. Kaki kanan lelaki itu hanya tersisa bagian paha
yang berbalutkan perban coklat.
Kebetulan ini
merupakan hari pertama saya bertugas sebagai dokter di poli bedah, sehingga
saya belum begitu familier dengan pasien-pasien di poli ini. Saya membaca
tulisan di status pasien untuk mengetahui sedikit cerita sebelum mulai meng-anamnesis.
Tn. Rahmat, usia
26 tahun, seorang guru Sekolah Dasar yang 1 bulan lalu baru saja menjalani
operasi amputasi tungkai kaki kanan bawah akibat kecelakaan lalu lintas. Malang
baginya karena tungkai bawah kaki kanannya tidak dapat diselamatkan sehingga
hanya menyisakan bagian paha saja.
“Bagaimana
kabarnya hari ini, Pak? Apakah ada keluhan?” tanya saya.
“Alhamdulillah
sudah lebih baik, dok,” jawabnya.
“Mari pak, ke
ranjang pemeriksaan, ya. Saya akan memeriksa bekas operasi dan membersihkan
lukanya.”
Perlahan saya
buka lipatan perban di pahanya satu persatu. Saya perhatikan luka bekas operasi
di kakinya masih ada sedikit mengeluarkan nanah. Saya kemudian membersihkan
nanah dan daerah luka operasi tersebut. Wajah Rahmat tampak mengernyit menahan
kesakitan ketika saya menempelkan kassa steril di bagian lukanya, sontak wanita
muda yang mendampinginya dengan sabar duduk disamping Rahmat sambil menggenggam
erat ruas jemari tangannya.
Setelah hampir
20 menit membersihkan luka dan menutup kembali dengan perban, saya kemudian
mempersilakan Rahmat kembali ke depan meja konsultasi.
“Baik pak, ini
obat pulangnya, ya. Jangan lupa kontrol ulang minggu depan,” ucapku sambil
menyerahkan satu lembar kertas resep. Mereka berdua kemudian bergegas keluar
meninggalkan poli.
“Si Rahmat ini
beruntung sekali ya memiliki pasangan setia seperti kekasihnya,” celetuk Bu
Hamid.
“Yang wanita
dengannya tadi itu istrinya, ya?” tanyaku.
“Belum, sih.
Lebih tepatnya hampir menjadi istrinya.”
“Loh, kok
bisa?”
“Tepat sehari
sebelum mereka menikah, si Rahmat kecelakaan tertabrak truk saat sedang
mempersiapkan acara pernikahannya. Alhasil keesokannya alih-alih menuju
pelaminan, mereka justru menuju ruang pembiusan. Sampai sekarang sepertinya mereka
belum sempat melangsungkan pernikahan yang tertunda karena masih sibuk dengan fase
penyembuhan.”
Saya kemudian
tertegun, betapa setianya pasangan yang Rahmat miliki. Di saat ia berada di
salah satu titik terendah dalam hidupnya, justru pasangannya tetap memilih
untuk setia mendampingi dan mengurusinya. Mungkin ini adalah makna dari kalimat
“cinta bukan sekedar tentang fisik, namun masalah hati”.
Bisa jadi kita
mencintai seseorang karena fisiknya, namun ketika suatu saat fisiknya berubah
akankah kita tetap mencintainya? Seiring waktu berjalan penuaan pada tubuh
pasti akan terjadi. Keriput perlahan muncul menghiasai kulit, uban mulai menampakkan
diri di helaian rambut, perut kian membuncit, dan tubuh mulai rentan terkena
penyakit. Hanya 1 hal yang tidak akan berubah seiring berlalunya waktu, yakni
hati. Ia masih menjadi sosok yang sama sejak dulu.
Oleh karena itu, cintai hatinya bukan
fisiknya.
0 Comments
Posting Komentar