![]() |
image from: diymusician.cdbaby.com |
“Minta uang 50.000, dong.”
Bayangkan seandainya ada
orang tidak dikenal tiba-tiba datang dan berkata seperti itu. Mungkin anda akan
merasa kesal dan marah. Jangankan orang asing, teman dekat yang berkata seperti
itu-pun sepertinya akan tetap membuat kita marah. Bagaimana tidak sopannya jika
tiba-tiba ada seseorang datang meminta uang 50.000 tanpa
memberikan value apapun ke kita.
Kurang lebih seperti itu yang saya rasakan ketika berjualan CD album lagu
banjar band saya, JEF.
Pertengahan tahun 2017 kami
merilis debut album yang bertajuk “Waja Sampai Kaputing”, di mana kami
menciptakan lagu, merekam, mem-burning,
dan memasukkan cover album ke kotak
CD secara mandiri. Kami sepakat mematok harga 50.000 karena memang biaya
membuat CD cukup mahal, dan lebih lagi kami mencetak dalam jumlah yang cukup kecil (sekitar 100 CD setiap kali naik cetak). Berbeda jika kami mencetak CD dalam jumlah banyak (seperti 1.000 keping sekaligus), tentu biaya produksi perkepingnya akan lebih murah, akan tetapi dengan konsekuensi memerlukan
modal awal yang lebih besar dan kami akan merugi jika CD masih banyak tidak
terjual.
Modal untuk membuat CD (yang
mencakup membeli kotak CD, mencetak sticker
dan cover, juga lain-lainnya) memakan biaya sekitar 30.000/ keping, sehingga kami hanya mendapatkan
keuntungan 20.000 perkepingnya. Dari keuntungan tersebut kami bagi lagi ke
masing-masing personil band, di mana saat itu kami ada 4 orang. Dengan kata
lain per-orang mendapatkan uang 5.000 dari penjualan 1 buah CD.
Tentunya berjualan CD
tidaklah mudah di era modern ini. Kebanyakan
orang lebih suka menggunakan media streaming untuk mendengarkan musik. Saya dan teman-teman band saya
sendiri sempat berlelah-lelah mengantar CD-nya secara langsung hingga ke depan pintu rumah orang-orang yang memesan. Selain untuk menghargai mereka, kami juga ingin memberikan
kemudahan gratis ongkos kirim bagi yang membeli
CD kami.
Dari pemaparan di atas,
setidaknya cukup tergambarkan bagaimana perjuangan saya dalam membuat album dan menjualnya. Namun, semua itu seolah
sirna begitu saja ketika kami selesai manggung di suatu acara, dan tiba-tiba
seorang bapak-bapak atau ibu-ibu necis lengkap dengan iPhone keluaran terbaru di genggaman
tangannya, datang sambil berkata: “Lagu kalian bagus. Boleh minta CD-nya satu? Gratis, ya?”
Tidak hanya sekali dua kali,
namun sudah sangat sering sekali kami “diteror” hal tersebut. Bahkan teman dekat sekalipun tidak jarang ikut meminta CD
gratis, seolah kami mencetak CD tersebut tidak menggunakan uang.
Dua tahun berselang, band
saya saat itu berencana merilis album kedua yang bertajuk “Gawi Manuntung”.
Berbekal pengalaman pahit dari sebelum-sebelumnya, kami mulai memikirkan strategi penjualan CD. Yang saya pikirkan saat itu
bukan bagaimana caranya kami mendapatkan keuntungan, namun bagaimana caranya agar orang mulai berpemikiran untuk menghargai
karya orang lain.
Setelah melalui proses
diskusi panjang, akhirnya saya tercetus ide untuk mendonasikan 100% hasil
keuntungan penjualan CD dan digital
download ke yayasan sosial. Harapannya orang-orang yang selama ini meminta
gratis akan berpikir dua kali, karena jika mereka melakukan hal itu secara
tidak langsung mereka mengambil hak milik orang tidak mampu. Selain membuka
pemikiran orang lain mengenai penghargaan terhadap sebuah karya, penjualan CD kami juga akan membantu orang-orang yang kurang beruntung. Sebuah win-win
solution yang sepertinya cukup baik.
Beberapa minggu sebelum
album kami rilis, kami sudah gencar mempromosikan bahwa seluruh keuntung penjualan CD kami
akan didonasikan ke sekolah yang menampung anak jalanan. Bahkan setiap kami
tampil, tidak lupa kami menawarkan penjualan CD sambil menjelaskan kemana uang
keuntungan tersebut akan disalurkan.
Hasilnya di luar dugaan,
dalam kurun waktu 6 bulan kami mendapatkan keuntungan sebesar 15 juta. Bisa
dibilang cara ini cukup efektif untuk membuat orang mau menghargai karya kami
dengan membeli CD. Bahkan tidak jarang ada yang membayar melebihi harga yang
tertera karena ingin berdonasi lebih banyak. Terkadang cara terbaik untuk menyadarkan
orang lain menghargai karya bukan dengan memarahi atau berteriak “hargai karya gue, dong!”, melainkan dengan pendekatan dari sudut lainnya.
Namun, sepertinya tidak
semua orang bisa tersadar. Bahkan di saat acara launching album kami, di mana kami menjelaskan secara gamblang
tujuan hasil penjualan, ada saja seseorang
yang tidak kami kenal dengan santainya mendatangi
personil kami dan berkata “Saya minta CD-nya ya satu.
Minta satu aja, gratis kan?”
Entahlah. Mungkin di
kehidupan sehari-harinya ia sering meminta uang dari orang yang tidak mampu.
0 Comments
Posting Komentar