Isu kebiri kimia mendadak kembali ramai beberapa bulan
terakhir ini. Penyebabnya tidak lain dikarenakan adanya kasus seorang pria di
Mojokerto yang terancam hukuman kebiri kimia akibat tindak kejahatannya melakukan pemerkosaan terhadap 9 orang anak
di bawah umur.
Pemerintah Indonesia sendiri mengeluarkan peraturan
Undang-Undang nomor 17 tahun 2016 yang mengatur mengenai hukuman kebiri kimia
bagi pelaku pelanggar seksual pada anak. Dari awal peraturan mengenai kebiri kimia ini muncul, sudah muncul berbagai pertentangan terhadap undang-undang
tersebut dari para
tenaga medis. Akan tetapi, suka tidak suka hal tersebut
telah sah tertulis di undang-undang dan menjadi bom waktu yang kemudian meledak
di tahun ini,
bertepatan dengan akan dijatuhkannya hukuman tersebut.
Sebelum membahas lebih jauh, kita akan berkenalan terlebih dahulu dengan pedofilia. Pedofilia merupakan
ketertarikan seksual orang dewasa terhadap anak-anak pre-pubertas (umur 13
tahun ke bawah). Pedofilia sendiri berbeda dengan pelanggar seksual, di mana
yang dimaksud pelanggar seksual adalah seseorang yang melakukan kejahatan
seksual seperti sodomi, pemerkosaan, dan kekerasan seksual. Sehingga seorang
pedofilia dapat dikatakan sebagai pelanggar seksual jika ia terbukti melakukan
kejahatan seksual terhadap korbannya, sementara jika ia belum melakukan hal
tersebut ia belum termasuk ke dalam kategori
pelanggar seksual.
Penyebab pedofilia sendiri menurut teori disebabkan oleh
beberapa faktor
seperti; kelainan struktur otak (volume bagian amygdala dan hypothalamus yang menurun), kelainan fungsi otak (penurunan
inhibisi otak bagian prefrontal dan temporal), gangguan sinyal-sinyal saraf
, kelainan hormon saat kehamilan, genetik, dan lingkungan. Dikarenakan adanya
gangguan di otak, beberapa penelitian juga menyebutkan para penderita pedofilia
berhubungan dengan memiliki tingkat IQ yang rendah.
Sekarang kita beralih ke masalah kebiri. Kebiri dibagi
menjadi dua, yakni kebiri fisik dan kimia. Kebiri fisik dilakukan dengan
membuang testis dari seorang pria, sementara kebiri kimia dilakukan dengan
menyuntikkan zat-zat yang akan menekan hormon testosterone yang diproduksi oleh testis. Tujuan kebiri dari sudut
pandang kasus pelanggar seksual adalah untuk menurunkan libido seksual dari
sang pelaku, dengan harapan ia tidak melakukan kasus kejahatan seksual lagi. Namun yang menjadi permasalahan adalah, apakah kebiri
kimia terbukti ampuh untuk mentatalaksanai para pelanggar seksual?
Yang perlu diingat adalah hormon testosterone tidak hanya berfungsi pada libido seksual saja, ada
banyak fungsi lainnya seperti pengatur masa tulang, distribusi lemak,
perkembangan otot, dan produksi sel darah merah. Sehingga jika hormon testosterone ditekan, ia akan memiliki
efek lainnya yang tidak diharapkan ke pelaku tersebut.
Kebiri kimia sendiri akan menekan hormon testosterone, namun efek tersebut bersifat reversible. Sehingga ketika seseorang dilakukan kebiri kimia kemudian beberapa bulan selanjutnya ia tidak disuntikkan obat-obatan tersebut, kadar hormon testosterone-nya akan kembali meningkat.
Atau bahkan yang lebih parah bisa saja pelaku tersebut mencari pengobatan
di luar untuk meningkatkan
kembali hormon testosterone-nya. Jika
seseorang dilakukan kebiri kimia, maka seberapa lama ia akan dilakukan
pemberian obat-obat tersebut untuk menekan libidonya? Bisa dibilang pengobatan kebiri kimia terhadap
pelanggar seksual sangatlah tidak efektif dan efisien.
Selain itu, kebiri kimia juga tidak menjamin libido
seksual para pelaku tersebut akan menghilang sama sekali. Hal ini dikarenakan
libido seksual tidak hanya disebabkan oleh hormon testosterone saja, melainkan ada banyak faktor lain yang
berpengaruh di dalam otaknya. Jadi, bukan tidak mungkin pelaku yang mendapatkan
kebiri kimia masih akan tetap melakukan kejahatan seksual.
Lantas bagaimanakah solusi yang tepat untuk para
pedofilia yang melakukan kejahatan seksual ini? Salah satu yang dapat dilakukan
tentunya dengan rehabilitasi, hal ini sangat perlu dilakukan sehingga para pelanggar
seksual pedofilia ini
bisa dilakukan pemeriksaan dan penetalaksanaan secara
tepat. Jika terbukti pelaku tersebut tidak menunjukkan perbaikan, akan lebih baik jika ia tetap
mendekam di dalam penjara. Pendapat beberapa pihak bahkan ada yang lebih
menyarankan jika hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati lebih baik
ketimbang hukuman kebiri kimia.
Hal terpenting yang sebenarnya perlu dilakukan adalah
edukasi seksual, terutama ke pihak anak-anak dan remaja. Sehingga dengan adanya
edukasi seksual ini, para anak-anak bisa memahami jika mereka menjadi korban
kejahatan seksual dan mencari pertolongan. Selain itu edukasi ini juga untuk
mencegah seseorang yang memang dari awal memiliki kecenderungan pedofilia untuk
melakukan tindak kejahatan
seksual. Media juga memiliki peran penting untuk mensosialisasikan hukuman bagi
para pelaku kejahatan seksual, sehingga orang-orang yang akan melakukan
tersebut akan menjadi takut dan jera.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sendiri telah dengan mantap
menolak hukuman kebiri kimia ini. Salah satu yang menjadi
pertimbangan selain ketidak efektif-annya, juga kebiri kimia merupakan sesuatu yang bertentangan dengan fitrah ilmu kedokteran.
Kebiri
kimia memiliki dampak melemahkan fisik pasien, sementara seorang dokter
fitrahnya hanya dapat melakukan hal tersebut pada situasi tertentu yang memang
memerlukan secara ilmu kedokteran, sebagai contoh sebagai terapi pada kasus
kanker prostat yang memerlukan penekanan hormon testosteron.
Kedepannya,
diharapkan undang-undang yang mengatur hukuman kebiri kimia terhadap pelanggar
seksual ditinjau kembali agar hukuman yang berlaku dapat sesuai dengan ilmu
kedokteran. Selain itu pemerintah juga perlu menggalakan kembali edukasi
seksual ke anak-anak dan remaja agar menurunkan kasus pelanggar seksual ini.
0 Comments
Posting Komentar