Jika dahulu kita ingin menjadi artis terkenal harus melalui waktu yang cukup lama, kini seseorang bisa menjadi artis yang viral hanya dengan membuat 1 menit video tiktok saja dengan hanya bermodalkan HP. Apakah ini menunjukkan turunnya kualitas pasar?
Di era sebelum internet merajalela, untuk bisa menjadi seorang artis yang merekam dan menampilkan lagu ciptaan merupakan sebuah proses yang cukup rumit. Di awali dengan melatih skill bermusik bertahun-tahun, kemudian mencari kenalan untuk nge-band, latihan sekian lama, hingga akhirnya memecahkan simpanan tabungan untuk merekam lagu. Proses rekaman yang masih serba analog tidak bisa dipungkiri memerlukan keahlian dan jam terbang yang sangat mumpuni.
Setelah hasil demo rekaman berada di tangan, perjuangan masih belum selesai. Mereka harus mengirim demo ke pihak label agar lagunya bisa dipasarkan. Permasalahannya seringkali demo yang dibuat justru berakhir di lemari koleksi CD demo lainnya, atau mungkin hanya berada di meja penjaga keamanan kantor label saja.
Bandingkan dengan era sekarang, di mana lagu “Eta Terangkanlah” yang direkam hanya bermodalkan handphone dan diiringi perkusi oleh acapella mulut ala kadarnya bisa lebih hits dibandingkan lagu yang direkam menggunakan alat rekaman mahal. Apakah hal ini bisa terjadi jika lagu “Eta Terangkanlah” muncul di tahun 1990-an? Jawabannya tentu tidak.
Internet seolah merupakan sebuah jalan pintas untuk mempertemukan lagu dengan pangsa pendengarnya. Pada beberapa kasus, lagu yang sudah lama sekalipun tiba-tiba dapat terkenal lagi di era sekarang. Tengoklah lagu-lagu Siti Ropeah, Dinding Badinding, dan Sampang Banjir Poleh sebuah lagu daerah lawas yang tiba-tiba menjadi hits kembali karena adanya tiktok. Hal ini menunjukkan bahwa sekarang tidak ada lagi barrier yang menghalangi antara karya yang baik dengan pendengarnya. Selama lagu anda sudah cukup baik dan berada di momen yang tepat, lagu anda bisa saja terkenal.
Disadur dari buku Mastering Kilat yang ditulis Agus Hardiman, formula lagu yang baik adalah 40:30:20:10. Di mana 40% adalah lagu, 30% aransemen, 20% mixing, dan 10% mastering. Jika kita sudah menguasai 40% dari poin lagu secara maksimal, maka 60% sisanya menjadi tidak begitu dominan. Fiersa Besari adalah salah satu contoh musisi yang berhasil membuktikan tersebut. Lagu-lagu ciptaannya di awal berkarya seperti April dan Waktu yang Salah, terdengar sangat rekaman rumahan sekali. Pun dengan aransemen lagunya yang sebenarnya standar. Namun, ia berhasil menguasai 40% di poin lagu tersebut secara maksimal sehingga akhirnya booming.
Di dunia internasional ada salah satu pencipta lagu yang sangat piawai, yakni Max Martin. Ia merupakan pencipta lagu kawakan sejak dahulu mulai dari era Backstreet Boys hingga Adele. Di salah satu masterclass-nya ia bercerita bahwa keterbatasan dalam skill bermusik adalah salah satu poin kelebihannya ketika berkarya. Karena disadari atau tidak, hal-hal yang simple itu justru lebih disukai banyak orang.
Tetapi yang perlu diingat meskipun formula 40:30:20:10 itu titik beratnya di lagu, kita juga harus menguasi poin lain seperti aransemen, mixing, dan mastering. Mungkin kita tidak harus seahli membuat aransemen seperti Hans Zimmer atau handal dalam mixing seperti Tony Maserati, hanya saja kuasai-lah hal tersebut sesuai standar minimal untuk meningkatkan kemungkinan lagu kita akan disukai. Itulah kenapa tetap penting untuk belajar produksi musik secara keseluruhan.